Al Qur'an

Q.S. An Nur/24 : 31

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya, dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya."

QS. Al Ahzab/33 : 59

"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang."

Wednesday, March 21, 2007

Sekolah-Sekolah di Inggris Diberi Otoritas untuk Larang Cadar

Rabu, 21 Mar 07 11:19 WIB

Ketegangan antara warga Muslim dan pemerintah Inggris lagi-lagi terjadi, setelah pemerintah membuat usulan agar sekolah-sekolah diberi otoritas untuk melarang penggunaan cadar.

Wacana itu mengemuka bersamaan dengan akan diterbitkannya panduan baru penyelenggaran pendidikan di Inggris yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Ketrampilan (DEFS) dalam waktu dekat ini. Panduan pendidikan yang dirancang oleh Menteri Pendidikan, Alan Johnson itu akan didistribusikan ke seluruh sekolah di Inggris.

Terkait dengan pemberian otoritas pada sekolah-sekolah untuk melarang penggunaan cadar, dalam buku panduan itu disebutkan bahwa sekolah harus mampu mengindentifikasi setiap siswa-siswi agar bisa menjaga ketertiban. Selain itu, agar pihak sekolah bisa dengan mudah mengetahui jika ada penyusup.

"Jika wajah siswa-siswi tidak bisa dikenali untuk alasan tertentu, guru kemungkinan tidak bisa menilai bagaimana perhatian mereka terhadap pelajaran dan untuk melibatkan mereka dalam diskusi serta aktivitas-aktivitas lainnya, " demikian bagian isi panduan baru tersebut, seperti dikutip surat kabar Daily Mail, edisi Selasa (20/3).

Departemen Pendidikan dan Ketrampilan Inggris membuat panduan pendidikan baru setelah mencuat kasus gugatan terhadap sekolah yang melarang penggunaan cadar. Gugatan itu diajukan oleh seorang siswi Muslimah berusia 12 tahun terhadap sekolah Buckinghamshire. Namun gugatan itu ditolak pengadilan dengan alasan cadar menimbulkan resiko keamanan.

DEFS menyatakan siap menerima saran-saran dan pendapat sampai tanggal 12 Juni, sebelum menerbitkan panduan itu secara resmi.

Warga Muslim Tidak Diajak Konsultasi

Mengemukanya wacana tentang larangan bercadar di sekolah-sekolah ini, tentu saja menimbulkan kekecewaan warga Muslim di Inggris. Mereka menyayangkan sikap pemerintah yang tidak berkonsultasi dulu sebelum melontarkan rencana itu.

"Tidak ada konsultasi dengan komunitas Muslim sebelum panduan ini disosialisasikan, " kata Massoud Shadjareh, ketua Islamic Human Rights Commission (IHRC) dalam pernyataan resmi di situsnya.

Kelompok advokasi yang berbasis di London ini, khawatir panduan tersebut justeru akan kontra produktif.

"Meski panduan ini hanya mempengaruhi sebagian kecil komunitas Muslim, hal itu bisa mendorong para orang tua untuk memberhentikan anak-anaknya dari sekolah yang memberlakukan larangan cadar. Mereka akan mengajar anak-anaknya di rumah atau mendaftarkan hanya ke sekolah-sekolah Islam, " tukas Shadjareh.

Menurutnya, pemerintah tidak sensitif dengan keberadaan hampir dua juta warga Muslim di negeri itu. Para menteri yang terkait dengan masalah pendidikan dianggap gagal memberikan panduan yang layak seperti yang diminta para juru kampanye hak asasi manusia, tentang kewajiban sekolah dalam masalah busana dan jilbab bagi siswi muslimah.

Sementara itu, juru bicara Muslim Council of Britain bidang pendidikan Tahir Alam menyatakan, semua pihak harus peka dalam merespon isu-isu semacam ini. Selama ini, kata Alam, banyak sekolah-sekolah yang mampu memecahkan isu-isu kasus-kasus seperti itu, secara internal. Dan seharusnya, tetap dibiarkan seperti itu. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4600b23c.htm

Ingin Peran Religius Setelah Berjilbab

Kamis, 15 Maret 2007

Aktris Arab asal Mesir yang dikenal aktris erotis terlaris tahun 80-90-an, Sharehan ingin peran lebih religius setelah mengenakan jilbab

Hidayatullah.com--Namun sejak menderita penyakit kronis pada awal 1990-an, namanya seperti ditelan bumi. Sederet aktris wajah baru yang tampil lebih erortis dan "panas" membuat namanya makin terlupakan.

Pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, Sharehan, aktris Arab asal Mesir dikenal sebagai aktris erotis terlaris di layar lebar dan layar kaca (TV).

Namun sejak menderita penyakit kronis pada awal 1990-an, namanya seperti ditelan bumi. Sederet aktris wajah baru yang tampil lebih erortis dan "panas" membuat namanya makin terlupakan.

Pengobatan intensif yang dilakukan tim medis, termasuk berobat ke sejumlah negara Eropa, membuat Sharehan seperti melupakan sama sekali dunia lamanya sebagai aktris papan atas termahal.

Tim medis yang menangani pengobatan Sharehan akhirnya merekomendasikan supaya artis itu kembali ke dunia akting, agar penyakitnya benar-banar sembuh secara tuntas.

Namun, tim medis seperti dilaporkan harian Arab, Al-Quds Al-Arabi, Rabu (14/3) mensyaratkan agas bekas aktris nomor satu Arab itu memainkan peran yang ringan-ringan dan tidak boleh melakukan pengambilan gambar di ruangan yang ada asap rokok.

"Selain itu, tim medis juga menasehati agar pengambilan gambar dilakukan dalam kondisi tenang. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kekebalan tubuhnya," lapor harian itu.
Sang aktris sendiri telah mengalami perubahan mendasar dalam kehidupan sehari-harinya. Selain telah menggunakan jilbab, ia juga dilaporkan lebih senang melihat acara-acara TV religius.
Karena itu, Sharehan kembali termotivasi untuk bisa berperan dalam serial religius dan menolak untuk kembali berakting di layar lebar.

Sejak beberapa bulan lalu, ia mendapat skenario sebuah serial religius sebanyak 30 episode yang ternyata menarik perhatiannya. [ant]

Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4400&Itemid=1

Muslim Kanada Akan Adukan FIFA ke Dewan HAM PBB

Jumat, 9 Mar 07 09:34 WIB



Kasus larangan berjilbab terhadap seorang pemain sepakbola perempuan di Kanada, berbuntut panjang. Council on American-Islamic Relations (CAIR) wilayah Kanada mengancam akan membawa kasus ini ke mahkamah hak asasi manusia PBB.

Langkah itu diambil karena asosiasi sepakbola dunia, FIFA tidak memberikan pendapat yang tegas atas kasus tersebut.

"Jika FIFA tidak juga menyatakan posisinya dengan tegas terhadap hak perempuan mengenakan jilbab dalam kompetisi sepakbola, kami akan mempertimbangkan kemungkinan mengajukan pengaduan atas nama para Muslimah yang ingin main sepakbola, " kata Karl Nicker, direktur eksekutif CAIR-Kanada seperti dikutip Islamonline.
Ia menambahkan, para Muslimah tidak mau diperlakukan semena-mena hanya karena melaksanakan ajaran agama mereka.

Kasus jilbab ini mencuat setelah seorang wasit Kanada mengeluarkan Asmahan Mansur, 11, dari lapangan sepakbola saat mengikuti kompetisi, karena mengenakan jilbab. Wasit berpendapat, aturan sepakbola internasional melarang pemain mengenakan sesuatu yang membahayakan pemain bersangkutan atau pemain lainnya. Dan jilbab Asmahan, menurut wasit itu, dianggap melanggar aturan tersebut.

Federasi Sepakbola Quebec membela tindakan wasit dengan dalih sang wasit mencoba menerapkan aturan permainan internasional. Internasional Football Association Board (IFAB) dan Federation Internationale de Football Association (FIFA), setelah melakukan pertemuan juga menyatakan bahwa wasit tersebut membuat keputusan yang benar berdasarkan peraturan internasional nomor 4.

Aturan tersebut menyebutkan apa saja yang boleh dikenakan pemain sepakbola dengan pertimbangan keselamatan pemain, tapi tidak menyebutkan secara khusus tentang larangan penggunaan penutup kepala.

Juru bicara FIFA, Pekka Odriozola mengatakan, IFAB memutuskan bahwa hal-hal yang terkait dengan apa yang dikenakan pemain sudah termaktub dalam peraturan nomor 4. Menurutnya, setiap asosiasi baik nasional maupun regional diberi keleluasaan untuk menerapkan peraturan itu berdasarkan penafsiran masing-masing.

Tapi CAIR-Kanada mengecam sikap FIFA yang dinilai tidak jelas. "Disatu sisi, FIFA mempromosikan sepakbola bagi perempuan dengan menampilkan pemain-pemain berjilbab di situsnya. Disisi lain, mereka memberikan kebebasan pada masing-masing wasit untuk melarang atau membolehkan jilbab, " tukas Sarah Elgazzar, juru bicara CAIR-Kanada.

"Sikap seperti ini tidak bisa terus dipertahankan, " tandasnya. Ia menuding FIFA sudah melanggar hak asasi para Muslimah.

"Dengan tetap bersikap ambigu terhadap pertanyaan soal jilbab dan mendukung keputusan wasit Quebec, FIFA sudah secara efektif menghalang-halangi jutaan perempuan untuk menjadi pemain sepakbola, " tega Elgazzar. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45f0c7a7.htm

Kaum Islamis dan Sekuler Tunis Satu Suara: Larangan Jilbab Melanggar HAM

Senin, 12 Mar 07 08:30 WIB

Kaum oposisi Tunis yang terdiri dari para politisi dan kaum intelektual, melanjutkan aksi menekan pemerintah yang telah menetapkan larangan terhadap jilbab. Uniknya, aksi ini justru dipelopori oleh kalangan Islamis dan sekuler.

Mereka menelurkan sebuah dokumen bersama, antara lain menetapkan bahwa menggunakan jilbab adalah hak individu yang tidak boleh dilarang bagi wanita yang ingin mengenakannya.

Ketetapan bersama itu dianggap para pengamat, sebagai langkah balik dari kalangan sekuler dan kiri yang sebelumnya telah menyatakan secara prinsip, menolak jilbab. Dalam ketetapan itu, mereka juga mengkritisi soal banyaknya hak-hak perempuan berjilbab yang terlanggar, baik di bidang pengajaran, bekerja, dan juga terkait hak persamaan mereka dengan pria. Dalam soal ini, pengamat menganggap telah terjadi perubahan pemikiran di kalangan Islamis. Karena sebelum ini kalangan Islamis tegas menyatakan perbedaan antara hak perempuan dan laki-laki dalam hal-hal tertentu.

Dokumen bersama yang dideklarasikan oleh kelompok yang menamakan diri mereka kelompok “Perhimpunan 18 Oktober untuk HAM” dan dokumen mereka bertajuk, Tentang Hak -hak Perempuan dan Persamaan Hak antara Perempuan dan Laki-laki. Nama 18 Oktober diambil karena awal pertemuan arus ini terjadi pada 18 Oktober 2005. Anggotanya terdiri dari kalangan lintas pemikiran dan politik, baik Islamis maupun sekuler. Utamanya adalah Harakah Nahdhah yang mewakili arus Islamis di Tunis, Partai Demokrat Modern beraliran sekuler, juga Partai Buruh Komunis Tunisia.

Mushtafa ben Jafar, kepala partai Demokrat Modern mengatakan, “Ini adalah dokumen yang memiliki nilai sejarah penting. Karena dokumen ini telah berhasil dibuat setelah melakukan kesuksesan dalam dialog dan kajian terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan selama ini antara arus Islam dan sekuler, terhadap masalah hak perempuan. ”

Jafar menegaskan pada para wartawan, bahwa, “Dokumen ini telah menghilangkan perselisihan terhadap masalah perempuan yang telah dihidupkan oleh pemerintah selama 20 tahun hingga semakin memperdalam perselisihan dan perbedaan antara arus politik oposisi, yang dipelopori oleh arus Islam dan arus sekuler. ”

Sementara Zeyad Daulatay, salah satu pimpinan Harakah Nahdhah Islamiyah, mengakui urgensi dokumen ini sebagai, “kesepakatan pertama dalam sejarah di wilayah Arab dan bahkan dunia Islam. Di mana dalam dokumen itu, kalangan sekuler dan Islamis sama-sama sepakat terhadap hal yang satu, yang paling sering menjadi akar perselisihan antara mereka, yakni dalam masalah hak perempuan. ” Kepada Islamonline, ia mengatakan, “Kesepakatan ini membuka pintu untuk rakyat dari berbagai aliran untuk bergabung bersama guna membahas masalah lain yang selama ini diperselisihkan, seperti masalah demokrasi, masalah agama dan negara, dan juga masalah lainnya. ”

Kelompok Islamis dan sekuler Tunisia ini membeberkan sejumlah kasus yang merugikan perempuan Tunisia, antara lain, perbedaan mencolok antara hak untuk perempuan dan laki-laki di Tunis menyebabkan tingkat buta baca tulis di kalangan perempuan sangat banyak. Selain itu juga soal kesempatan bekerja wanita, di mana upah untuk perempuan berbeda 14% daripada upah untuk kaum laki-laki. Bahkan perbandingan itu bisa mencapai 18%. Kelompok tersebut menuntut pemerintah menghapus undang-undang yang melarang perempuan berjilbab sehingga tidak mendapatkan haknya. (na-str/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45f40c12.htm

Aktifis HAM Desak Pemerintah Tunisia untuk Tidak Keluarkan UU Larangan Jilbab

Kamis, 19 Jan 06 10:24 WIB

Setelah mendapat tekanan dari ulama Islam terkait pernyataan salah seorang menteri Tunisia yang menyebutkan jilbab sebagai tradisi primordial dan budaya eksport, kini pemerintah Tunis mendapat protes kuat dari kelompok penegak HAM. Para aktifis HAM memandang pernyataan Menteri urusan agama Tunisia Abu Bakr Al-Akhzuri tentang jilbab itu bertolak belakang dengan latarbelakang keagamaan Tunisia dan undang-undang Tunis yang menjamin kebebasan bagi setiap individu, termasuk bebas mengenakan pakaian. Mereka juga menolak keras upaya revisi undang-undang yang akan melarang penggunaan jilbab di Tunisia.

Dalam keterangan yang disampaikan kepada Islamonlilne, penulis dan aktifis HAM di Tunis, Shalahuddin Al-Ghourshi menyebutkan bahwa tidak ada alasan hukum apapun yang bisa membiarkan pemerintah melarang penggunaan jilbab di Tunis. “Dari sisi penamaan saja, istilah pakaian Islam di Tunis itu merupakan fenomena baru yang punya kaitan dengan pakaian masyarakat Tunis sebelumnya. Pakaian tradisional selama ini juga sudah mendekati dengan jilbab yang digunakan kum Muslimah,” katanya. (na-str/iol)

Ia juga mempermasalahkan betapa pemerintah dalam hal ini mengabaikan hak memilih untuk rakyatnya. Karena masalah pakaian, makanan, dan peti mati bukan termasuk dalam wilayah yang bisa diintervensi pemerintah atau siapapun. Itu adalah hak suci yang bisa dipilih setiap orang dengan bebas.

Sementara itu Saedah Ikrimi, salah satu aktifis HAM perempuan Tunis mengatakan, bahwa pelarangan jilbab yang pasti ditujukan kepada kaum perempuan, adalah perpanjangan daftar tekanan terhadap kaum perempuan Tunis. Ia mengaku sangat prihatin dengan sejumlah laporan kasus dari para pelajar dan mahasiswi yang diusir dari sekolah mereka karena mengenakan jilbab. Bukan hanya mereka, bahkan para buruh wanitapun tidak sedikit yang diberhentikan dari pekerjaan karena mengenakan jilbab.

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/43cef748.htm?rel

IFAB dan FIFA Beda Penafsiran Soal Jilbab Dalam Sepakbola

Jumat, 2 Mar 07 15:05 WIB

Kasus Asmahan Mansur, gadis Kanada yang dilarang ikut serta dalam turnamen sepakbola karena mengenakan jilbab terus bergulir. Asosiasi Sepakbola Sedunia-FIFA menyatakan akan membahas persoalan ini besok, Sabtu (3/3) dalam pertemuan tahunan di Manchester, Inggris.
"Untuk sementara kami sedang membicarakan rencana pembahasan masalah ini. Pembahasan itu nantinya mungkin akan menghasilkan sebuah keputusan, " kata Nicolas Maingot, juru bicara FIFA seperti dikutip surat kabar Kanada The Chronicle Herald, Kamis (1/3).

Kasus Mansur, asal kota Quebec yang baru berusia 11 tahun ini berawal saat turnamen sepakbola nasional, Minggu (25/2) lalu. Wasit mengeluarkan Mansur dari lapangan permainan karena mengenakan jilbab, dengan alasan jilbabnya bisa membahayakan keselamatan pemain.
Polemik pun bermunculan setelah peristiwa itu. Rekan dan pelatih Mansur, membela haknya untuk mengenakan jilbab. Mereka meninggalkan lapangan permainan sebagai bentuk protes. Sementara Federasi sepakbola Quebec membela keputusan wasit dengan mengatakan bahwa wasit berusaha menerapkan peraturan internasional.

Namun Maingot mengatakan, peraturan internasional tidak menyebut secara khusus tentang jilbab dan hanya menyatakan bahwa para pemain tidak dibolehkan mengenakan apapun yang bisa membahayakan mereka sendiri atau pemain lainnya.

"Wasit yang memutuskan untuk mengizinkan atau tidak apa yang dikenakan pemain berdasarkan pertimbangan apakah yang dipakainya itu membahayakan atau tidak. Jadi, masalahnya bukan jilbabnya, " kata Maingot.

Kasus Asmahan menjadi berita utama di media massa Kanada. Mansur sendiri mengungkapkan, perasaannya campur aduk antara sedih karena dilarang ikut turnamen dan berharap kasusnya akan menjadi titik awal perubahan.

"Saya hanya merasa bahagia bahwa saya mungkin membuat sebuah perbedaan, " kata siswi kelas enam pada surat kabar Gazette. "Saya mengenakan jilbab saat memainkan olahraga apapun, " ujarnya bangga.

Selain sepakbola, Mansur juga menjadi anggota tim voli dan bola basket di sekolahnya. Dan ia tidak akan mundur dari tim olahraganya hanya karena kasus ini. Cita-citanya adalah menjadi anggota tim nasional liga sepakbola wanita Kanada. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45e7da63.htm?rel

Pemain Berjilbab Dikeluarkan dari Pertandingan Bola, FIFA Turun Tangan

Rabu, 28 Peb 07 17:24 WIB

FIFA tengah membahas masalah penggunaan jilbab bagi pemain sepak bola wanita yang ikut bertanding dalam event internasional. Hal ini berawal dari kasus penggunaan jilbab seorang pemain bola wanita telah memunculkan perbincangan heboh di Kanada.

Kasus ini sampai melibatkan pejabat Quebec, dan bahkan sejumlah petinggi sepak bola di lokasi itu menuntut FIFA untuk memberi batasan resmi soal jilbab dalam olah raga paling digandrungi masyarakat dunia ini.

Perbincangan seru tentang jilbab di lapangan hijau mulai terjadi ketika salah seorang pemain bola bernama Asmahan Mansour (11), remaja asal Kanada, dikeluarkan dari lapangan, karena menolak melepaskan jilbabnya saat bertanding.

Menurut harian Lo Journal Du Montreal yang terbit di Kanada (27/2), masalah ini menjadi panas saat Jean Charest kepala kementerian Quebec Kanada berbicara dan mendukung keputusan wasit pertandingan yang menghentikan pemain berjilbab. Menurut Charest, “Hakim melakukan tindakan yang benar, karena dia ingin menerapkan peraturan permainan dengan serius. ”

Namun demikian kasus penghentian itu, dibantah oleh pelatih Asmahan yang bernama Louis Maneiro. Ia menyatakan menolak keputusan hakim dan bahkan tindakan protes itu juga didukung sejumlah tim lain yang merasa toleran dengan apa yang dilakukan oleh pelatih Asmahan, dan menganggap bahwa keputusan wasit adalah pelanggaran terhadap HAM.
“Wasit hanya melihat bahwa saya wanita Muslimah berjilbab. Karena itu saya tidak berhak ikut serta dalam dunia sepak bola selama tidak melepas jilbab di setiap pertandingan, ” ujar Asmahan.

Di sisi lain, Maneiro mengatakan tidak ada peraturan resmi dari FIFA yang melarang penggunaan jilbab saat pertandigan. Ia menjelaskan pelarangan hanya disebutkan dalam peraturan seperti larangan menggunakan perhiasan apapun, gelang, atau materi tertentu seperti kaca mata yang bisa membahayakan.

“Jika ada peraturan resmi bahwa wanita berjilbab terlarang main dalam pertandingan FIFA, niscaya tidak akan pula ada pertandingan sepak bola perempuan di negara-negara Islam, yang pasti melibatkan kaum perempuan berjilbab di lapangan, ” tambahnya. (na-str/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45e52e19.htm?rel