Al Qur'an

Q.S. An Nur/24 : 31

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya, dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya."

QS. Al Ahzab/33 : 59

"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang."

Wednesday, February 21, 2007

Muslim San Antonio Menolak Diskriminasi

Minggu, 18 Pebruari 2007

Beberapa kali mendapatkan ancaman gara-gara jilbab. Ia bertekad membela kaum Muslim di kota San Antonio yang sering diperlakukan secara diskriminatif

Hidayatullah.com--Sebelum peristiwa 9 September, Sarwat Husain jarang memakai hijab atau kerudung. Tetapi setelah serangan yang merubah dunia tersebut, peristiwa ini juga merubah dirinya. Tidak lama setelah kejadian itu, wanita keturunan Pakistan ini memutuskan untuk membela kaum muslimin dari diskriminasi dan mendidik warga San Antonio untuk paham Islam dan budaya timur tengah.

Hal yang paling terlihat dari perubahan Sarwat Husain adalah kerudung yang secara konsisten dipakainya. Meskipun dengan begitu ia mendapat beberapa ancaman hanya karena kerudung yang dipakainya.

“Pada awalnya saya pikir 'tidak mungkin hal itu terjadi di San Antonio,' sehingga saya setuju memakai kerudung selama seminggu untuk melihat reaksi orang-orang,” kata Husain yang berusia pertengahan 50 tahun. Ia menjadi warga Negara Amerika tahun 1975 dan pindah ke San Antonio dengan keluarganya tahun 1989. “Saya ingin tahu apakah ada perubahan setelah ini.”

Apa yang terjadi kemudian tidak hanya menyadarkannya bahwa gerakan diskriminasi semakin merebak, tapi juga memotivasinya untuk mewakili komunitas muslim San Antonio. Saat ini ia adalah pendiri, menjadi presiden dan satu-satunya wanita di Council on American-Islamic Relations (CAIR), kelompok anti diskriminasi yang bermarkas di Washington DC.

Tahun lalu, Sarwat Husain tampil di buku “The Face behind the veil” (sosok di balik kerudung), yang menampilkan 50 Muslimah Amerika yang menonjol prestasinya. Pengarang buku tersebut memuji Husain karena patriotismenya dan penolakannya terhadap terorisme.

Para pengagum Sarwat Husain menggambarkan sosoknya sebagai orang yang kuat dan menolak diskriminasi dimana pun dia berada. Sedangkan orang yang tidak menyukainya menggambarkan sosoknya sebagai orang yang suka blak-blakan dan tidak tahu diri.

Sarwat Husain mendapat banyak email penuh kebencian. Meskipun semua email itu dibacanya tapi ia tak pernah membalasnya, “Apakah ada manfaatnya?”

Di tempat kerjanya, Sarwat Husain tetap memperjuangkan hak untuk memakai hijab. Ia juga mengajarkan toleransi pada kedua anaknya tentang hidup bernegara di Amerika.

Pencarian Identitas

Muslim di Amerika diperkIraqan ada sekitar 20.000 orang, meskipun belum ada data pasti tentang hal itu. Perilaku diskriminasi memang jarang terjadi di San Antonio, tetapi beberapa aset bisnis kaum Muslim pernah dibakar oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab setelah peristiwa 11 September.

Sarwat Husain juga menerima pengaduan mulai dari pekerja yang dipecat, diturunkan jabatan hingga anak-anak yang dipukuli di sekolah. Bukan apa-apa, hanya karena ia beragama Islam.

Setelah peristiwa 11 September, Sarwat Husain menghadiri undangan mantan walikota Ed Garza untuk duduk dalam komunitas lintas agama. Ia juga mendirikan surat kabar Al Ittihaad yang berarti unity atau persatuan dalam bahasa Arab. Surat kabar 12 halaman ini diberikan gratis pada warga Texas dan 25 kota di seluruh Amerika dengan hanya mengganti bea kirim.

“Saya rasa surat kabar seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat kita,” katanya. “Banyak hal yang tidak diungkap oleh surat kabar pada umumnya atau pun dimunculkan di berita TV.”

Ia mengalami sendiri diskriminasi itu. Ketika satu hari ia antri di sebuah toko elektronik di kota San Antonio, ada seorang wanita memandangnya. Wanita ini lalu memegang erat-erat tangan suaminya.

“Jangan khawatir, ada aku,” kata suaminya. “Dia tak akan menyakitimu. Lagipula ada banyak satpam di luar sana.”

Sarwat Husain adalah wanita keturunan Pakistan. Ia menikah dengan Mohammed Fakir Husain, 11 tahun lebih tua darinya dan kini sedang menyelesaikan program S3 di Amerika. Meskipun dijodohkan, pernikahan mereka tetap langgeng hingga saat ini, setelah 36 tahun berlalu.

Mereka kini dikaruniai dua orang anak, laki dan perempuan serta 3 cucu. Saat ini, Sarwat Husain memfokuskan dirinya dengan melakukan pendampingan untuk komunitas Muslim di kota San Antonio. [Associated Press/ria/cha]

Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4275&Itemid=62

Batasan Aurat Wanita Versi Quraisy Syihab

Kamis, 8 Peb 07 05:50 WIB

Assalammu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Alhamdulillah, saya menanyakan tentang Hukum Hijab seorang Wanitah apakah hukum menutup aurat bagi perempuan ini termasuk khilafiah, seperti yang difatwakan oleh seorang ulama kita ini, Prof. DR. Quraisy Syihab.

Dikarenakan tidak adanya dalil yang secara tegas dan ekplisit tentang batasan aurat seorang wanita, apakah Quraish Shihab itu hanya mengadopsi satu pendapat saja Muhammad Said al-'Asymawi yang ganjil, aneh dan Naif.

Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa penarikan batasan aurat wanita pada masa yang lalu itu sesuai dengan konteks zaman tersebut dan tidak menjadi Relafan untuk di zaman sekarang.

Pendapat ulama satu ini semakin aneh, terbukti dari salah satu putri beliau tidak menggunakan hijab.

Yang saya tanyakan bagaimana kami sebagai orang awam ini menyikapai fatwa ulama yang 'nyeleneh' ini. Karena ulama sekelas Prof. Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di masyarakat kita? Apakah ini yang disebut liberal, plural, sekuler?

Mohon penjelasannya, sebelumnya terimakasih

Wassalammu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ahmad Wanto
aw at eramuslim.com


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada hal yang perlu kita pahami, bahwa sesungguhnya Dr. Quraish Shihab itu bukan anti jilbab. Sebenarnya beliau sangat mendukung penggunaan jilbab, bahkan menurut pengakuan beliau, ke luarganya pun tetap dianjurkannya untuk berjilbab.

Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).

Namun dalam kapasitas sebagai ilmuwan di bidang tafsir, beliau hanya ingin mengatakan bahwa sepanjang yang dia ketahui, pemakaian jilbab adalah masalah khilafiah. Tidak semua ulama mewajibkan pemakaian jilbab.

Menanggapi ungkapan beliau itu, kita katakan memang benar bahwa ada khilafiyah di kalangan ulama. Namun oleh Quraisy, khilaf ini diperluas lagi sampai ke luar dari garis batasnya. Padahal para ulama justru tidak sampai ke sana.

Yang diperselisihkan oleh para ulama sebatas apakah cadar itu wajib atau tidak. Maksudnya, apakah wajah seorang wanita bagian dari aurat atau bukan. Juga apakah tapak kaki merupakan aurat atau bukan.

Namun semua ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa kepala, termasuk rambut, telinga, leher, pundak, tengkuk, bahu dan seputarnya adalah aurat wanita yang haram terlihat.

Sayangnya oleh Quraisy diperluas lagi sampai beliau mengatakan bahwa kepala bukan aurat. Jadi wanita tidak memakai kerudung atau jilbab dianggapnya tidak berdosa.

Sedangkan istilah jibab sendiri memang masih menjadi perselisihan di antara ulama. Ungkapan ini memang benar. Sebab ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa jilbab itu pakaian gamis panjang yang lebar, berwarna gelap dan menutupi seluruh tubuh wanita, tanpa kecuali. Wajah dan tangan pun tertutup.

Namun oleh sebagian ulama lain, yang dimaksud dengan jilbab adalah pakaian yang masih terlihat wajah dan kedua tapak tangan.

Di situlah titik perbedaan pengertian tentang jilbab. Seharusnya Dr. Quraish Shihab tidak kelewatan ketika mengatakan bahwa wanita tidak dilarang terbuka kepalanya, karena dianggap bukan aurat. Sebab tidak ada ulama salaf dan khalaf yang mengatakan demikian.

Asal Muasal Pemikiran

Dari manakah Dr. Quraisy Syihab mendapatkan pemikiran seperti ini?

Tentunya bukan dari para hali fiqih salaf semacam Asy-Syafi'i dan lainnya. Sebab para ulama fiqih di zaman salaf tidak ada yang berpendapat demikian. Pendapat seperti itu cukup aneh memang.

Di zaman sekarang ini, terutama setelah Mesir dijajah Perancis bertahun-tahun, banyak muncul para sekuleris dan liberalis. Dan kentara sekali bahwa Quraish banyak merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.Dalam buku-bukunya, pemikiran liberal inilah yang selalu diangkat oleh beliau. Dan pemikirannya lalu di-copy-paste begitu saja.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?

Kalau kita melihat latar belakang pendidikan dan disiplin ilmunya, sebenarnya beliau bukan lulusan dari fakultas syariah. Jenjang S-1 dan S-2 beliau dari fakultas ushuluddin jurusan tafsir hadits. Jenjang S-3 beliau di bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Meski banyak bicara tentang Al-Quran, namun spesialisasi beliau bukan ilmu fiqih. Bahkan buku tulisan beliau pun tidak ada yang khusus tentang fiqih. Buku yang beliau tulis antara lain Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) dan Membumikan Al-Qur'an danTafsir Al-Mishbah.

Padahal kajian tentang batasan aurat wanita itu seharusnya lahir dari profesor di bidang ilmu fiqih. Di dalam istimtabh hukum fiqih, sebenarnya ada terdapat ilmu hadits, ilmu ushul fiqih dan tentunya ilmu fiqih itu sendiri.

Barangkali hal ini salah satu sebab mengapa dalam tataran hukum fiqih, beliau agak gamang. Karena latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu beliau memang bukan dalam kajian fiqih, tetapi tafsir.

Karena itu pandangan para ulama besar fiqih dari 4 mazhab pun luput dalam kajian beliau. Justru pemikiran liberalis malah lebih banyak muncul.

Kalau kita konfrontir dengan para profesor dan doktor ahli ilmu fiqih di negeri kita, misalnya Dr. Khuzaemah T. Yanggo yang sama-sama berasal dari Sulawesi dan lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat seperti ini tidak benar. Menurut Dr. Khuzaemah, batas aurat wanita tetap seperti yang kita pahami selama ini, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua tapak tangan.

Demikian juga kalau kita lihat pendapat doktor syariah lainnya, seperti Dr. Anwar Ibrahim Nasution, atau Dr. Eli Maliki, yang kesemuanya lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat Quraisy ini dianggap telah menyalahi syariat Islam yang sesungguhnya. Bagi para doktor syariah itu, batas aurat wanita telah disepakati oleh seluruh ulama syariah, yaitu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tapak tangan.

Apalagi kalau kita kaitkan dengan Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, yang tentunya jauh lebih senior lebih tinggi ilmunya dari Dr. Quraisy. Beliau telah menyatakan bahwa di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.

Dan kalau kita merujuk lebih jauh lagi, kepada ulama besar di masa lalu, katakanlah misalnya Al-Imam Nawawi, maka kita dapati dalam kitab al-Majmu’ syarah Al-Muhazzab, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

Kita tetap hormat dan santun kepada pribadi Dr. Quraisy, namun khusus pendapatnya tentang tidak wajibnya wanita memakai penutup kepala dan batasan auratnya, kita tidak sepaham. Sebab pendapat beliau itu menyendiri, tidak dilandasi oleh hujjah yang qath'i, terlalu mengada-ada dan boros asumsi.

Semoga suatu saat beliau menarik kembali pendapatnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Source : http://www.eramuslim.com/usm/shl/45c9595e.htm

Wednesday, February 14, 2007

AM. Fatwa Protes Keras Larangan Jilbab Bagi Petugas Medis

Wakil Ketua MPR AM. Fatwa memprotes keras pelarangan jilbab bagi perawat di Rumah Sakit (RS) Kebonjati, Bandung.

"Tidak pantas larangan menggunakan jilbab itu diterapkan di negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai demokrasi beragama, " ujar Fatwa di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (14/2).

Menurutnya, seharusnya pihak RS tidak membuat atuaran yang bertentangan dengan ajaran agama. Seyognyanya semua pihak bijak dalam membuat peraturan.

"Jangan sampai melarang seseorang menggunakan jilbab, sekalipun masih dalam melaksanakan tugas. Karena jilbab itu tidak akan menganggu dan mengurangi prestasi seseorang dalam bekerja, " tegas dia.

Oleh karena itu, tambah Fatwa, pelarangan jilbab tidak bisa diterima.

"Larangan memakai jilbab di RS Kebonjati, Bandung tidak beralasan, " katanya. Ia yakin, paramedis yang memakai jilbab tidak akan membuat RS rugi.

"Atribut-atribut dari RS memang perlu sebagai tanda dan sarana pengenal, namum pengaturan itu tidak perlu bersifat kaku, " saran Fatwa, yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN). (dina)

Source : http://www.eramuslim.com/berita/nasional/am-fatwa-protes-keras-larangan-jilbab-bagi-petugas-medis.htm