Al Qur'an

Q.S. An Nur/24 : 31

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya, dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya."

QS. Al Ahzab/33 : 59

"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang."

Friday, September 28, 2007

Mendagri Italia Tolak Tuntutan Agar Jilbab Dilarang

Di tengah makin meningkatnya gelombang anti-jilbab di Barat, Menteri Dalam Negeri Italia Giuliano Amato menyatakan menolak permintaan agar diberlakukan larangan berjilbab di tempat-tempat umum di negara itu.

"Jika kita mau melarang jilbab di tempat-tempat publik, maka akan segera muncul pertanyaan, 'mengapa seorang biarawati dibolehkan mengenakan apa yang menjadi kebiasaannya, sedangkan muslimah tidak', " ujarnya pada seperti dilansir surat kabar La Stampa.

Mendagri mengatakan bahwa konsitusi Italia menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah. Kalau ada larangan berjilbab, maka larangan harus dikenakan pada semua orang baik muslimah maupun biarawati.

"Jika seorang muslimah sakit dan dirawat di rumah sakit, dia tidak boleh mengenakan jilbab, sementara seorang biarawati dibolehkan, " kata Amato yang mencontohkan adanya ketidakadilan penerapan hukum.

Amato menambahkan, ia tidak setuju kalau yang dikenakan adalah cadar, tapi tidak masalah jika yang dikenakan hanya jilbab.

Belakangan ini, kelompok-kelompok kiri gencar mengkampanyekan anti-jilbab yang diidentikan dengan teror dan anti-integrasi. Kampanye itu dilakukan Partai Lega Nord, yang mengumpulkan tanda tangan untuk menentang jilbab. Partai itu juga meminta agar kaum perempuan yang mengenakan cadar ditangkap dan didenda.

Diperkirakan, saat ini ada sekitar 1, 2 juta Muslim di Italia, termasuk 20. 000 mualaf. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/berita/dunia/mendagri-italia-tolak-tuntutan-agar-jilbab-dilarang.htm

Wednesday, August 15, 2007

Pengadilan Jerman Larang Jilbab di Distrik North Rhine-Westphalia

Pengadilan administratif Jerman mengesahkan larangan mengenakan jilbab di wilayah North Rhine-Westphalia, Selasa (14/8).

Pengadilan itu digelar, setelah seorang guru di wilayah tersebut mengajukan gugatan hukum karena tidak diizinkan mengenakan jilbab saat mengajar. Para hakim di pengadilan tersebut, menolak argumen yang diberikan guru tersebut, yang mengatakan bahwa jilbab yang dikenakannya adalah "asesori busana" dan merupakan simbol dari keyakinan agamanya.

Pada bulan Juni kemarin, pengadilan yang sama juga memutuskan untuk mendukung larangan berjilbab, dengan alasan seorang guru yang tampil di muka umum dengan mengenakan busana terkait dengan keyakinan agamanya, merupakan pelanggaran terhadap konsep netralitas dan sekularisme.

Dalam sidang tersebut, pengadilan juga menyatakan bahwa larangan terhadap penggunaan penutup kepala di North Rhine-Westphalia, juga termasuk larangan mengenakan semacam topi baret bagi para guru.

Dari 16 negara bagian di Jerman, delapan negara bagian menyatakan melarang jilbab. Tapi, pada bulan Juli kemarin, pengadilan Baden Wuerttemberg mencabut larangan jilbab yang diberlakukan sejak tahun 2004. Pengadilan menyatakan, larangan itu dicabut karena penerapannya diskriminatif, larangan hanya dikenakan pada warga Muslim dan tidak pada para suster Katolik yang juga mengenakan penutup kepala mirip jilbab. (ln/Islamicity)

Source : http://www.eramuslim.com/berita/dunia/pengadilan-jerman-larang-jilbab-di-distrik-north-rhine-westphalia.htm

Friday, August 10, 2007

Makin Banyak, Kaum Perempuan Aljazair yang Pilih Kenakan Jilbab

Kaum perempuan di Aljazair, kini makin banyak yang lebih memilih tradisi kehidupan Muslim dan mengenakan jilbab.

Surat kabar lokal el-Khabar memuat data statistik yang menunjukkan bahwa 50 persen kaum perempuan di kota-kota besar di Aljazair memilih mengenakan jilbab. Sementara secara nasional, lebih dari 97 persen kaum perempuan Al-Jazair kini sudah mengenakan jilbab.

Sejak tahun 1970-an dan 1980-an, jilbab kembali menjadi trend di Al-Jazair. Namun belakangan ini, jilbab menjadi persoalan tersendiri di negara tersebut. Kaum perempuan yang mengenakan jilbab, banyak yang mengeluh bahwa mereka mengalami diskriminasi saat mencari kerja.

Menurut el-Khabar, perusahaan-perusahaan asing tidak mau menerima calon pegawai yang mengenakan jilbab. Sementara di perusahaan-perusahaan lokal dan kantor-kantor swasta, pegawai perempuan yang berjilbab sering diremehkan.

Pemerintah Aljazair sendiri kurang mendukung kaum perempuan yang mengenakan jilbab. Beberapa bulan yang lalu, Abdulaziz Bouteflika bahkan melontarkan pernyataan provokatif. Ia menyatakan bahwa "jilbab atau kerudung bukanlah busana nasional" Al-Jazair.

Di sejumlah kota di Aljazair, masyarakatnya sebagian ada yang mendukung jilbab dan ada yang tidak. Tapi di wilayah-wilayah gurun, kaum perempunan mengenakan busan khas yang menutup seluruh tubuh, kecuali dua bola matanya saja yang terlihat. (ln/middleeast-ol).

Source : http://www.eramuslim.com/berita/dunia/makin-banyak-kaum-perempuan-aljazair-yang-pilih-kenakan-jilbab.htm

Wednesday, April 25, 2007

Menggunakan Burka Dilarang Naik Bus

25/04/2007 16:26 WIB

Rita Uli Hutapea - detikcom

Stockholm - Gara-gara mengenakan burka, seorang wanita dilarang naik ke bus penumpang di Kota Malmoe, Swedia. Alasannya, sopir bus tidak bisa mengenali wanita itu dengan burka yang dipakainya.

"Saya sebelumnya tidak pernah harus mengenalkan diri saya di bus umum. Memakai burka adalah pilihan pribadi saya dan itu tidak membuat saya lebih mengancam daripada orang lain," ujar wanita yang tidak disebutkan namanya itu kepada harian Swedia, Metro.

Burka merupakan jubah khas Arab yang menutupi seluruh tubuh dan wajah pemakainya dan hanya menyisakan celah di kedua matanya untuk bisa melihat.

Meski sopir bus berupaya melarangnya naik, namun wanita itu bersikeras naik ke bus. Ketika dirinya berhasil naik, wanita itu masih harus mengalami penghinaan dari sopir. Buntutnya, wanita tersebut melaporkan insiden ini ke kepolisian Swedia.

Menurut Daniel Stjernfeldt, juru bicara perusahaan bus Arriva tersebut, versi sang sopir atas kejadian itu tidak sama dengan versi wanita tersebut. Dikatakan juru bicara itu, sopir tersebut saat ini tengah dinonaktifkan menunggu investigasi selesai.

"Jika apa yang dikatakan wanita itu benar-benar terjadi, maka ini tindakan yang tidak bisa diterima. Semua orang bisa menggunakan bus," tegas Stjernfeldt. Sebabnya, tidak ada aturan yang menyatakan para penumpang harus memperkenalkan diri mereka di bus-bus umum.(ita/nrl)

Source : http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/25/time/162610/idnews/772580/idkanal/10

Friday, April 13, 2007

Sipir Penjara Kanada, Pilih Jilbab Ketimbang Pekerjaannya

Jumat, 13 Apr 07 13:44 WIB



Ini mungkin bukan berita anyar, karena terjadi di bulan Maret 2007 lalu. Tapi berita ini penting untuk menambah semangat mengenakan busana Muslimah.

Adalah Sandes Abdul Lathif (19), seorang sipir penjara wanita di sebuah penjara Kanada, ia meninggalkan pekerjaannya untuk sebuah niat suci yang diyakini kebenarannya. Ia memilih untuk memakai jilbab meski harus meninggalkan jabatannya di penjara.

Peristiwa ini dibenarkan oleh wakil menteri keamanan di Quebeck, Kanada yang menyayangkan apa yang dilakukan sipir penjara perempuan itu.

Menurut para petugas penjara di lokasi yang berdekatan dengan kota Montreal itu, penjara tempat Muslimah itu bertugas memang menerapkan disiplin dan hukum yang ketat terkait penggunaan jilbab bagi petugas penjara. Petugas penjara, menurut mereka, dilarang berjilbab karena jilbab bisa digunakan untuk mencekik atau sebagai senjata bila ada di antara para tahanan.

Muslimah tersebut sebelumnya telah dipanggil untuk menghadap pimpinan pengelola p enjara dan diminta untuk memilih apakah ia akan tetap memakai jilbab atau meneruskan tugasnya di penjara. “Kepala penjara mengatakan pada saya, 'kamu boleh memilih, melepas jilbab atau tidak bekerja di sini.' " iapun menjawab mantap, “Saya memilih untuk tidak bekerja di sini. ”

Beberapa waktu belakangan, jilbab menjadi perdebatan yang cukup ramai di Kanada. Terlebih ketika seorang atlit olahraga sepak bola yang usianya baru 11 tahun dikeluarkan dari lapangan kompetisi, lantaran memakai jilbab.

Hingga saat ini, berdasarkan sensus, Kanada mencatat kelipatan besar jumlah umat Islam. Saat ini jumlah mereka sudah mendekati 600 ribu jiwa dari total penduduk yang berjumlah 30 juta jiwa. Islam telah menjadi agama yang paling pesat pertumbuhannya di Kanada. (na-str/egyptwnd)

Source : http://www.eramuslim.com/berita/int/461e4884.htm

Majalah Muslim Girl di AS, Saingi Tiras Seventen

Rabu, 28 Mar 07 13:55 WIB



Memasuki bulan ketiga, majalah Muslim Girl, yang terbit di Amerika, makin mendapat sambutan pasar yang luas di kalangan remaja puteri AS. Tiras majalah Islam yang baru muncul itu kini sudah mendekati tiras majalah remaja AS Seventen, yang semula merajai minat remaja puteri di Amerika.

Majalah yang memiliki halaman full collor itu memang ditujukan untuk segmen remaja Muslimah usia 12 hingga 19 tahun. Di dalamnya, pembaca disajikan beragam informasi terkait perempuan dan ajaran Islam. Juga berbagai ulasan tentang trend masyarakat AS dan pengaruhnya bagi remaja Muslimah.

Muslim Girl juga membahas ragam isu remaja Muslimah khas Amerika. Misalnya, di salah satu edisinya, dibahas diskusi tentang pertanyaan: “Apa saja program yang ada di masjid kamu?”, “Apakah program masjid kamu disukai remaja seperti kamu?” Bahkan ada juga pembahasan tentang percampuran tempat shalat untuk laki-laki dan perempuan di sejumlah masjid di AS. Selain itu, Girl Muslim juga mengupas soal pakaian olah raga, masalah musik, drama, yang punya kaitan dengan Muslimah. Termasuk profil tokoh Muslimah yang sukses di berbagai bidang, juga disajikan dalam setiap edisinya.

Muslim Girl dianggap sebagai majalah alternatif yang sukses untuk umat Islam di AS, di tengah ragam kebudayaan dan keterbukaan yang menjadi bagian dari gaya hidup di AS. Mamoun Sayed, Kepala Eksekutif Yayasan An Nawawi, lembaga pengajaran Islam, mengatakan bahwa apa yang disajikan majalah Girl sangat dibutuhkan bagi remaja Muslimah AS.

Ia mengatakan, “Kalau ada yang mempunyai kesempatan dan mampu untuk disepakati meski ada juga silang pendapat, itu adalah Amerika. Mungkin saya tidak sependapat dengan pandangan anda, tapi saya akan tetap membela hak saya dalam menyampaikan pendapat saya itu. ” Maksud Masoud adalah sikon media massa di AS yang beragam turut mendukung keberhasilan majalah Girl di AS.

Majalah dwi mingguan itu terbit pertama kali di bulan Januari 2007. “Remaja muslimah adalah pasar yang penting bagi majalah ini, segmen yang selama ini diabaikan. "Dan kami ingin menyapa mereka, ” ujar Asma Khan pengagas majalah itu. Ia menyampaikan bahwa apa yang dilakukannya, juga untuk memperbaiki imej negatif tentang Muslimah di tengah komunitas Amerika yang menerima banyak informasi dari berbagai media massa AS. “Ada sebagian lembaga pers yang menilai perempuan Muslimah terkait dengan terorisme. Ada juga yang terus menerus membicarakan benturan gender antara laki-laki dan perempuan. Majalah kami berusaha menampilkan ke balikannya, dengan contoh-contoh positif tentang muslimah dan nilai Islam yang benar. ”

Tentu saja ada catatan terkait dengan majalah Muslim Girl. Majalah tersebut tidak menampilkan hanya Muslimah berjilbab saja dalam ilustrasi dan fotonya. Hal ini juga mungkin membuka peluang adanya sejumlah pihak yang masih keberatan dengan gaya Muslim Girl.

“Kami berupaya membuat sebuah simbol sendiri, berusaha sebaik mungkin, sebatas yang kita bisa lakukan untuk saat ini, ” ujar Asma. Jika ingin tahu lebih jauh tentang Muslim Girl, anda bisa kunjungi situs http://www. Muslimgirlmagazine. Com (na-str/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4609eece.htm

Siswi Kristen di Mesir Tak Keberatan Kenakan Jilbab

Senin, 26 Mar 07 17:46 WIB



Sejumlah siswi beragama Kristen di sebuah sekolah menengah di Mesir membantah tuduhan yang mengatakan bahwa mereka dipaksa memakai jilbab oleh kepala sekolah mereka. Para siswi itu menyatakan, mereka mengenakan jilbab atas kemauan sendiri, bukan karena paksaan.

Tuduhan itu dilontarkan sebuah majalah milik pemerintah dalam artikelnya yang menyatakan bahwa Magdy Fikri, kepala sekolah teknik Al-Ayyat di provinsi Giza, telah memaksa seluruh siswa yang berjumlah 2. 700 orang, 55 di antaranya siswi beragama Kristen, untuk mengenakan jilbab.

Menurut laporan majalah itu, tindakan Fikri membuat menteri pendidikan marah, sehingga Fikri bersama dua guru lainnya di sekolah itu dimutasikan.

"Kami menerima keluhan dari sejumlah orang tua dan siswi, yang mengatakan bahwa kepala sekolah memaksa siswi Muslim dan Kristen mengenakan jilbab, " kata pejabat kementerian pendidikan Mesir, Hussein al-Syaikh.

Namun Fikri tidak percaya keluhan yang diterima kementerian pendidikan berasal dari para siswi-siswinya. "Saya tidak mempercayai bahwa seorang siswi atau salah satu dari kolega saya yang Kristen berada di balik pengaduan itu, " katanya.

"Saya sudah kenal mereka selama bertahun-tahun, mereka tidak akan bersikap seperti itu. Kami, Muslim dan umat Kristiani adalah satu dan tidak saling menjelekkan satu dengan yang lain, " sambung Fikri.

Perkataan Fikri terbukti, karena sejumlah siswi yang beragama Kristen menyatakan bahwa mereka bersedia mengenakan jilbab atas kemauan sendiri, bukan karena paksaan. Para orang tua siswi juga menyatakan mendukung anaknya mengenakan jilbab di sekolah.

"Kami sudah memutuskan untuk mendukung kepala sekolah, menunjukkan pada semua bahwa dia tidak memaksa kami mengenakan jilbab. Semua siswi Kristen di sekolah ini mengenakan jilbab atas kemauan sendiri, " kata Marriam Nabil, salah seorang siswi.

Keputusan mereka mengenakan jilbab, juga bukan semata-mata untuk menunjukkan solidaritas tapi mencontoh apa yang dilakukan perawan suci, Maria.

"Kami mengenakan penutup rambut di dalam dan di luar sekolah seperti ibu-ibu kami. Saya sendiri sudah menutup rambut saya sejak di sekolah dasar. Kami tidak merasa tersinggung jika kami disama-samakan dengan rekan kami yang Muslim, " kata seorang siswi beragama Kristen.

Dukungan terhadap Fikri juga ditunjukkan oleh guru-guru sekolah Kristen, yang mengecam sanksi disipliner terhadap Fikri.

"Fikri adalah salah satu orang yang berkualitas. Ketidakadilan sudah dilakukan terhadapnya dan kami membela dia, " kata Magdy Rasmi, salah seorang deputi sekolah beragama Kristen.

Lotfi Adly, seorang bapak dari siswi yang beragama Kristen mengatakan, dia yakin tidak ada yang salah dengan jilbab. "Anda pikir saya akan senang melihat rambut anak-anak saya tidak tertutup?" tukasnya.

Ibu dari Fayza Awad, siswi beragama Kristen lainnya menambahkan bahwa ia dan anak perempuannya biasa mengenakan penutup rambut, mengikuti bunda Maria.

"Saya mengenakan kudung karena bunda Maria juga menutup rambutnya. Ini masalah penghormatan dan sama sekali bukan paksaan, " ujarnya.

Melihat dukungan dari kalangan Kristen, Menteri Pendidikan Mesir Yousri el-Gamal akhirnya tidak lagi mempersoalkan masalah jilbab di sekolah Al-Ayyat. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4607a472.htm

Muslimah AS Gugat Seorang Hakim

Jumat, 30 Mar 07 15:09 WIB



Gugatan itu dilakukan Ginnah Muhammad karena hakim yang menangani kasusnya, menolak untuk memperoses hukum Ginnah, gara-gara ia untuk melepas cadarnya.

"Saya ingin memastikan bahwa setiap orang di mana saja bisa mempraktekkan ajaran agamanya dengan bebas di sebuah masyarakat yang demokratis, " kata Ginnah Muhammad pada surat kabar Washington Post, edisi Kamis (29/3).

Ginnah, perempuan berusia 42 tahun yang menjalankan bisnis aroma terapi di kawasan Detroit ini, sedang memperjuangkan nasibnya, setelah ia dikenai tuntutan sebesar 2. 750 dollar dari sebuah perusahaan penyewaan mobil. Tuntutan sebesar itu sebagai pengganti perbaikan kerusakan mobil yang disewa Ginnah, yang menurutnya rusak karena dibuka paksa oleh pencuri.

Hakim distrik Detroit, Paul Paruk yang menangani kasus itu meminta Ginnah membuka cadarnya agar hakim bisa melihat apakah ia berkata benar. Namun Ginnah menolak permintaan itu, sehingga Paruk menghentikan kasus Ginnah.

Kuasa hukum Ginnah, Nabih Ayad mengatakan, permohonan kliennya untuk mendapatkan hakim pengganti tidak dikabulkan. Permintaan Ginnah agar hakim Paruk mengundurkan diri dari kasus itu juga ditolak.

Dalam tuntutannya, Ginnah juga mengklaim bahwa aksesnya ke pengadilan dipersulit hanya karena dia seorang Muslim.

Menurut Ginnah, keputusan hakim untuk menghentikan kasusnya melanggar undang-undang berdasarkan Amandemen pertama bahwa setiap berhak menjalankan ajaran agamanya. "Anda harus bisa menjadi diri Anda sendiri sepanjang itu tidak kriminal atau melukai orang lain, " ujar Ginnah.

"Keyakinan saya tentang Islam bahwa perempuan sangat mulia. Kami harus tertutup saat keluar rumah, karena hal itu melindungi kami dan juga orang lain. Saya percaya bahwa Tuhan menginginkan kami seperti itu, " sambungnya.

Ginnah mengatakan bahwa ia bersedia membuka cadarnya, jika hakimnya perempuan.

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/460cc5a4.htm

Wednesday, March 21, 2007

Sekolah-Sekolah di Inggris Diberi Otoritas untuk Larang Cadar

Rabu, 21 Mar 07 11:19 WIB

Ketegangan antara warga Muslim dan pemerintah Inggris lagi-lagi terjadi, setelah pemerintah membuat usulan agar sekolah-sekolah diberi otoritas untuk melarang penggunaan cadar.

Wacana itu mengemuka bersamaan dengan akan diterbitkannya panduan baru penyelenggaran pendidikan di Inggris yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Ketrampilan (DEFS) dalam waktu dekat ini. Panduan pendidikan yang dirancang oleh Menteri Pendidikan, Alan Johnson itu akan didistribusikan ke seluruh sekolah di Inggris.

Terkait dengan pemberian otoritas pada sekolah-sekolah untuk melarang penggunaan cadar, dalam buku panduan itu disebutkan bahwa sekolah harus mampu mengindentifikasi setiap siswa-siswi agar bisa menjaga ketertiban. Selain itu, agar pihak sekolah bisa dengan mudah mengetahui jika ada penyusup.

"Jika wajah siswa-siswi tidak bisa dikenali untuk alasan tertentu, guru kemungkinan tidak bisa menilai bagaimana perhatian mereka terhadap pelajaran dan untuk melibatkan mereka dalam diskusi serta aktivitas-aktivitas lainnya, " demikian bagian isi panduan baru tersebut, seperti dikutip surat kabar Daily Mail, edisi Selasa (20/3).

Departemen Pendidikan dan Ketrampilan Inggris membuat panduan pendidikan baru setelah mencuat kasus gugatan terhadap sekolah yang melarang penggunaan cadar. Gugatan itu diajukan oleh seorang siswi Muslimah berusia 12 tahun terhadap sekolah Buckinghamshire. Namun gugatan itu ditolak pengadilan dengan alasan cadar menimbulkan resiko keamanan.

DEFS menyatakan siap menerima saran-saran dan pendapat sampai tanggal 12 Juni, sebelum menerbitkan panduan itu secara resmi.

Warga Muslim Tidak Diajak Konsultasi

Mengemukanya wacana tentang larangan bercadar di sekolah-sekolah ini, tentu saja menimbulkan kekecewaan warga Muslim di Inggris. Mereka menyayangkan sikap pemerintah yang tidak berkonsultasi dulu sebelum melontarkan rencana itu.

"Tidak ada konsultasi dengan komunitas Muslim sebelum panduan ini disosialisasikan, " kata Massoud Shadjareh, ketua Islamic Human Rights Commission (IHRC) dalam pernyataan resmi di situsnya.

Kelompok advokasi yang berbasis di London ini, khawatir panduan tersebut justeru akan kontra produktif.

"Meski panduan ini hanya mempengaruhi sebagian kecil komunitas Muslim, hal itu bisa mendorong para orang tua untuk memberhentikan anak-anaknya dari sekolah yang memberlakukan larangan cadar. Mereka akan mengajar anak-anaknya di rumah atau mendaftarkan hanya ke sekolah-sekolah Islam, " tukas Shadjareh.

Menurutnya, pemerintah tidak sensitif dengan keberadaan hampir dua juta warga Muslim di negeri itu. Para menteri yang terkait dengan masalah pendidikan dianggap gagal memberikan panduan yang layak seperti yang diminta para juru kampanye hak asasi manusia, tentang kewajiban sekolah dalam masalah busana dan jilbab bagi siswi muslimah.

Sementara itu, juru bicara Muslim Council of Britain bidang pendidikan Tahir Alam menyatakan, semua pihak harus peka dalam merespon isu-isu semacam ini. Selama ini, kata Alam, banyak sekolah-sekolah yang mampu memecahkan isu-isu kasus-kasus seperti itu, secara internal. Dan seharusnya, tetap dibiarkan seperti itu. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4600b23c.htm

Ingin Peran Religius Setelah Berjilbab

Kamis, 15 Maret 2007

Aktris Arab asal Mesir yang dikenal aktris erotis terlaris tahun 80-90-an, Sharehan ingin peran lebih religius setelah mengenakan jilbab

Hidayatullah.com--Namun sejak menderita penyakit kronis pada awal 1990-an, namanya seperti ditelan bumi. Sederet aktris wajah baru yang tampil lebih erortis dan "panas" membuat namanya makin terlupakan.

Pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, Sharehan, aktris Arab asal Mesir dikenal sebagai aktris erotis terlaris di layar lebar dan layar kaca (TV).

Namun sejak menderita penyakit kronis pada awal 1990-an, namanya seperti ditelan bumi. Sederet aktris wajah baru yang tampil lebih erortis dan "panas" membuat namanya makin terlupakan.

Pengobatan intensif yang dilakukan tim medis, termasuk berobat ke sejumlah negara Eropa, membuat Sharehan seperti melupakan sama sekali dunia lamanya sebagai aktris papan atas termahal.

Tim medis yang menangani pengobatan Sharehan akhirnya merekomendasikan supaya artis itu kembali ke dunia akting, agar penyakitnya benar-banar sembuh secara tuntas.

Namun, tim medis seperti dilaporkan harian Arab, Al-Quds Al-Arabi, Rabu (14/3) mensyaratkan agas bekas aktris nomor satu Arab itu memainkan peran yang ringan-ringan dan tidak boleh melakukan pengambilan gambar di ruangan yang ada asap rokok.

"Selain itu, tim medis juga menasehati agar pengambilan gambar dilakukan dalam kondisi tenang. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kekebalan tubuhnya," lapor harian itu.
Sang aktris sendiri telah mengalami perubahan mendasar dalam kehidupan sehari-harinya. Selain telah menggunakan jilbab, ia juga dilaporkan lebih senang melihat acara-acara TV religius.
Karena itu, Sharehan kembali termotivasi untuk bisa berperan dalam serial religius dan menolak untuk kembali berakting di layar lebar.

Sejak beberapa bulan lalu, ia mendapat skenario sebuah serial religius sebanyak 30 episode yang ternyata menarik perhatiannya. [ant]

Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4400&Itemid=1

Muslim Kanada Akan Adukan FIFA ke Dewan HAM PBB

Jumat, 9 Mar 07 09:34 WIB



Kasus larangan berjilbab terhadap seorang pemain sepakbola perempuan di Kanada, berbuntut panjang. Council on American-Islamic Relations (CAIR) wilayah Kanada mengancam akan membawa kasus ini ke mahkamah hak asasi manusia PBB.

Langkah itu diambil karena asosiasi sepakbola dunia, FIFA tidak memberikan pendapat yang tegas atas kasus tersebut.

"Jika FIFA tidak juga menyatakan posisinya dengan tegas terhadap hak perempuan mengenakan jilbab dalam kompetisi sepakbola, kami akan mempertimbangkan kemungkinan mengajukan pengaduan atas nama para Muslimah yang ingin main sepakbola, " kata Karl Nicker, direktur eksekutif CAIR-Kanada seperti dikutip Islamonline.
Ia menambahkan, para Muslimah tidak mau diperlakukan semena-mena hanya karena melaksanakan ajaran agama mereka.

Kasus jilbab ini mencuat setelah seorang wasit Kanada mengeluarkan Asmahan Mansur, 11, dari lapangan sepakbola saat mengikuti kompetisi, karena mengenakan jilbab. Wasit berpendapat, aturan sepakbola internasional melarang pemain mengenakan sesuatu yang membahayakan pemain bersangkutan atau pemain lainnya. Dan jilbab Asmahan, menurut wasit itu, dianggap melanggar aturan tersebut.

Federasi Sepakbola Quebec membela tindakan wasit dengan dalih sang wasit mencoba menerapkan aturan permainan internasional. Internasional Football Association Board (IFAB) dan Federation Internationale de Football Association (FIFA), setelah melakukan pertemuan juga menyatakan bahwa wasit tersebut membuat keputusan yang benar berdasarkan peraturan internasional nomor 4.

Aturan tersebut menyebutkan apa saja yang boleh dikenakan pemain sepakbola dengan pertimbangan keselamatan pemain, tapi tidak menyebutkan secara khusus tentang larangan penggunaan penutup kepala.

Juru bicara FIFA, Pekka Odriozola mengatakan, IFAB memutuskan bahwa hal-hal yang terkait dengan apa yang dikenakan pemain sudah termaktub dalam peraturan nomor 4. Menurutnya, setiap asosiasi baik nasional maupun regional diberi keleluasaan untuk menerapkan peraturan itu berdasarkan penafsiran masing-masing.

Tapi CAIR-Kanada mengecam sikap FIFA yang dinilai tidak jelas. "Disatu sisi, FIFA mempromosikan sepakbola bagi perempuan dengan menampilkan pemain-pemain berjilbab di situsnya. Disisi lain, mereka memberikan kebebasan pada masing-masing wasit untuk melarang atau membolehkan jilbab, " tukas Sarah Elgazzar, juru bicara CAIR-Kanada.

"Sikap seperti ini tidak bisa terus dipertahankan, " tandasnya. Ia menuding FIFA sudah melanggar hak asasi para Muslimah.

"Dengan tetap bersikap ambigu terhadap pertanyaan soal jilbab dan mendukung keputusan wasit Quebec, FIFA sudah secara efektif menghalang-halangi jutaan perempuan untuk menjadi pemain sepakbola, " tega Elgazzar. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45f0c7a7.htm

Kaum Islamis dan Sekuler Tunis Satu Suara: Larangan Jilbab Melanggar HAM

Senin, 12 Mar 07 08:30 WIB

Kaum oposisi Tunis yang terdiri dari para politisi dan kaum intelektual, melanjutkan aksi menekan pemerintah yang telah menetapkan larangan terhadap jilbab. Uniknya, aksi ini justru dipelopori oleh kalangan Islamis dan sekuler.

Mereka menelurkan sebuah dokumen bersama, antara lain menetapkan bahwa menggunakan jilbab adalah hak individu yang tidak boleh dilarang bagi wanita yang ingin mengenakannya.

Ketetapan bersama itu dianggap para pengamat, sebagai langkah balik dari kalangan sekuler dan kiri yang sebelumnya telah menyatakan secara prinsip, menolak jilbab. Dalam ketetapan itu, mereka juga mengkritisi soal banyaknya hak-hak perempuan berjilbab yang terlanggar, baik di bidang pengajaran, bekerja, dan juga terkait hak persamaan mereka dengan pria. Dalam soal ini, pengamat menganggap telah terjadi perubahan pemikiran di kalangan Islamis. Karena sebelum ini kalangan Islamis tegas menyatakan perbedaan antara hak perempuan dan laki-laki dalam hal-hal tertentu.

Dokumen bersama yang dideklarasikan oleh kelompok yang menamakan diri mereka kelompok “Perhimpunan 18 Oktober untuk HAM” dan dokumen mereka bertajuk, Tentang Hak -hak Perempuan dan Persamaan Hak antara Perempuan dan Laki-laki. Nama 18 Oktober diambil karena awal pertemuan arus ini terjadi pada 18 Oktober 2005. Anggotanya terdiri dari kalangan lintas pemikiran dan politik, baik Islamis maupun sekuler. Utamanya adalah Harakah Nahdhah yang mewakili arus Islamis di Tunis, Partai Demokrat Modern beraliran sekuler, juga Partai Buruh Komunis Tunisia.

Mushtafa ben Jafar, kepala partai Demokrat Modern mengatakan, “Ini adalah dokumen yang memiliki nilai sejarah penting. Karena dokumen ini telah berhasil dibuat setelah melakukan kesuksesan dalam dialog dan kajian terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan selama ini antara arus Islam dan sekuler, terhadap masalah hak perempuan. ”

Jafar menegaskan pada para wartawan, bahwa, “Dokumen ini telah menghilangkan perselisihan terhadap masalah perempuan yang telah dihidupkan oleh pemerintah selama 20 tahun hingga semakin memperdalam perselisihan dan perbedaan antara arus politik oposisi, yang dipelopori oleh arus Islam dan arus sekuler. ”

Sementara Zeyad Daulatay, salah satu pimpinan Harakah Nahdhah Islamiyah, mengakui urgensi dokumen ini sebagai, “kesepakatan pertama dalam sejarah di wilayah Arab dan bahkan dunia Islam. Di mana dalam dokumen itu, kalangan sekuler dan Islamis sama-sama sepakat terhadap hal yang satu, yang paling sering menjadi akar perselisihan antara mereka, yakni dalam masalah hak perempuan. ” Kepada Islamonline, ia mengatakan, “Kesepakatan ini membuka pintu untuk rakyat dari berbagai aliran untuk bergabung bersama guna membahas masalah lain yang selama ini diperselisihkan, seperti masalah demokrasi, masalah agama dan negara, dan juga masalah lainnya. ”

Kelompok Islamis dan sekuler Tunisia ini membeberkan sejumlah kasus yang merugikan perempuan Tunisia, antara lain, perbedaan mencolok antara hak untuk perempuan dan laki-laki di Tunis menyebabkan tingkat buta baca tulis di kalangan perempuan sangat banyak. Selain itu juga soal kesempatan bekerja wanita, di mana upah untuk perempuan berbeda 14% daripada upah untuk kaum laki-laki. Bahkan perbandingan itu bisa mencapai 18%. Kelompok tersebut menuntut pemerintah menghapus undang-undang yang melarang perempuan berjilbab sehingga tidak mendapatkan haknya. (na-str/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45f40c12.htm

Aktifis HAM Desak Pemerintah Tunisia untuk Tidak Keluarkan UU Larangan Jilbab

Kamis, 19 Jan 06 10:24 WIB

Setelah mendapat tekanan dari ulama Islam terkait pernyataan salah seorang menteri Tunisia yang menyebutkan jilbab sebagai tradisi primordial dan budaya eksport, kini pemerintah Tunis mendapat protes kuat dari kelompok penegak HAM. Para aktifis HAM memandang pernyataan Menteri urusan agama Tunisia Abu Bakr Al-Akhzuri tentang jilbab itu bertolak belakang dengan latarbelakang keagamaan Tunisia dan undang-undang Tunis yang menjamin kebebasan bagi setiap individu, termasuk bebas mengenakan pakaian. Mereka juga menolak keras upaya revisi undang-undang yang akan melarang penggunaan jilbab di Tunisia.

Dalam keterangan yang disampaikan kepada Islamonlilne, penulis dan aktifis HAM di Tunis, Shalahuddin Al-Ghourshi menyebutkan bahwa tidak ada alasan hukum apapun yang bisa membiarkan pemerintah melarang penggunaan jilbab di Tunis. “Dari sisi penamaan saja, istilah pakaian Islam di Tunis itu merupakan fenomena baru yang punya kaitan dengan pakaian masyarakat Tunis sebelumnya. Pakaian tradisional selama ini juga sudah mendekati dengan jilbab yang digunakan kum Muslimah,” katanya. (na-str/iol)

Ia juga mempermasalahkan betapa pemerintah dalam hal ini mengabaikan hak memilih untuk rakyatnya. Karena masalah pakaian, makanan, dan peti mati bukan termasuk dalam wilayah yang bisa diintervensi pemerintah atau siapapun. Itu adalah hak suci yang bisa dipilih setiap orang dengan bebas.

Sementara itu Saedah Ikrimi, salah satu aktifis HAM perempuan Tunis mengatakan, bahwa pelarangan jilbab yang pasti ditujukan kepada kaum perempuan, adalah perpanjangan daftar tekanan terhadap kaum perempuan Tunis. Ia mengaku sangat prihatin dengan sejumlah laporan kasus dari para pelajar dan mahasiswi yang diusir dari sekolah mereka karena mengenakan jilbab. Bukan hanya mereka, bahkan para buruh wanitapun tidak sedikit yang diberhentikan dari pekerjaan karena mengenakan jilbab.

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/43cef748.htm?rel

IFAB dan FIFA Beda Penafsiran Soal Jilbab Dalam Sepakbola

Jumat, 2 Mar 07 15:05 WIB

Kasus Asmahan Mansur, gadis Kanada yang dilarang ikut serta dalam turnamen sepakbola karena mengenakan jilbab terus bergulir. Asosiasi Sepakbola Sedunia-FIFA menyatakan akan membahas persoalan ini besok, Sabtu (3/3) dalam pertemuan tahunan di Manchester, Inggris.
"Untuk sementara kami sedang membicarakan rencana pembahasan masalah ini. Pembahasan itu nantinya mungkin akan menghasilkan sebuah keputusan, " kata Nicolas Maingot, juru bicara FIFA seperti dikutip surat kabar Kanada The Chronicle Herald, Kamis (1/3).

Kasus Mansur, asal kota Quebec yang baru berusia 11 tahun ini berawal saat turnamen sepakbola nasional, Minggu (25/2) lalu. Wasit mengeluarkan Mansur dari lapangan permainan karena mengenakan jilbab, dengan alasan jilbabnya bisa membahayakan keselamatan pemain.
Polemik pun bermunculan setelah peristiwa itu. Rekan dan pelatih Mansur, membela haknya untuk mengenakan jilbab. Mereka meninggalkan lapangan permainan sebagai bentuk protes. Sementara Federasi sepakbola Quebec membela keputusan wasit dengan mengatakan bahwa wasit berusaha menerapkan peraturan internasional.

Namun Maingot mengatakan, peraturan internasional tidak menyebut secara khusus tentang jilbab dan hanya menyatakan bahwa para pemain tidak dibolehkan mengenakan apapun yang bisa membahayakan mereka sendiri atau pemain lainnya.

"Wasit yang memutuskan untuk mengizinkan atau tidak apa yang dikenakan pemain berdasarkan pertimbangan apakah yang dipakainya itu membahayakan atau tidak. Jadi, masalahnya bukan jilbabnya, " kata Maingot.

Kasus Asmahan menjadi berita utama di media massa Kanada. Mansur sendiri mengungkapkan, perasaannya campur aduk antara sedih karena dilarang ikut turnamen dan berharap kasusnya akan menjadi titik awal perubahan.

"Saya hanya merasa bahagia bahwa saya mungkin membuat sebuah perbedaan, " kata siswi kelas enam pada surat kabar Gazette. "Saya mengenakan jilbab saat memainkan olahraga apapun, " ujarnya bangga.

Selain sepakbola, Mansur juga menjadi anggota tim voli dan bola basket di sekolahnya. Dan ia tidak akan mundur dari tim olahraganya hanya karena kasus ini. Cita-citanya adalah menjadi anggota tim nasional liga sepakbola wanita Kanada. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45e7da63.htm?rel

Pemain Berjilbab Dikeluarkan dari Pertandingan Bola, FIFA Turun Tangan

Rabu, 28 Peb 07 17:24 WIB

FIFA tengah membahas masalah penggunaan jilbab bagi pemain sepak bola wanita yang ikut bertanding dalam event internasional. Hal ini berawal dari kasus penggunaan jilbab seorang pemain bola wanita telah memunculkan perbincangan heboh di Kanada.

Kasus ini sampai melibatkan pejabat Quebec, dan bahkan sejumlah petinggi sepak bola di lokasi itu menuntut FIFA untuk memberi batasan resmi soal jilbab dalam olah raga paling digandrungi masyarakat dunia ini.

Perbincangan seru tentang jilbab di lapangan hijau mulai terjadi ketika salah seorang pemain bola bernama Asmahan Mansour (11), remaja asal Kanada, dikeluarkan dari lapangan, karena menolak melepaskan jilbabnya saat bertanding.

Menurut harian Lo Journal Du Montreal yang terbit di Kanada (27/2), masalah ini menjadi panas saat Jean Charest kepala kementerian Quebec Kanada berbicara dan mendukung keputusan wasit pertandingan yang menghentikan pemain berjilbab. Menurut Charest, “Hakim melakukan tindakan yang benar, karena dia ingin menerapkan peraturan permainan dengan serius. ”

Namun demikian kasus penghentian itu, dibantah oleh pelatih Asmahan yang bernama Louis Maneiro. Ia menyatakan menolak keputusan hakim dan bahkan tindakan protes itu juga didukung sejumlah tim lain yang merasa toleran dengan apa yang dilakukan oleh pelatih Asmahan, dan menganggap bahwa keputusan wasit adalah pelanggaran terhadap HAM.
“Wasit hanya melihat bahwa saya wanita Muslimah berjilbab. Karena itu saya tidak berhak ikut serta dalam dunia sepak bola selama tidak melepas jilbab di setiap pertandingan, ” ujar Asmahan.

Di sisi lain, Maneiro mengatakan tidak ada peraturan resmi dari FIFA yang melarang penggunaan jilbab saat pertandigan. Ia menjelaskan pelarangan hanya disebutkan dalam peraturan seperti larangan menggunakan perhiasan apapun, gelang, atau materi tertentu seperti kaca mata yang bisa membahayakan.

“Jika ada peraturan resmi bahwa wanita berjilbab terlarang main dalam pertandingan FIFA, niscaya tidak akan pula ada pertandingan sepak bola perempuan di negara-negara Islam, yang pasti melibatkan kaum perempuan berjilbab di lapangan, ” tambahnya. (na-str/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45e52e19.htm?rel

Wednesday, February 21, 2007

Muslim San Antonio Menolak Diskriminasi

Minggu, 18 Pebruari 2007

Beberapa kali mendapatkan ancaman gara-gara jilbab. Ia bertekad membela kaum Muslim di kota San Antonio yang sering diperlakukan secara diskriminatif

Hidayatullah.com--Sebelum peristiwa 9 September, Sarwat Husain jarang memakai hijab atau kerudung. Tetapi setelah serangan yang merubah dunia tersebut, peristiwa ini juga merubah dirinya. Tidak lama setelah kejadian itu, wanita keturunan Pakistan ini memutuskan untuk membela kaum muslimin dari diskriminasi dan mendidik warga San Antonio untuk paham Islam dan budaya timur tengah.

Hal yang paling terlihat dari perubahan Sarwat Husain adalah kerudung yang secara konsisten dipakainya. Meskipun dengan begitu ia mendapat beberapa ancaman hanya karena kerudung yang dipakainya.

“Pada awalnya saya pikir 'tidak mungkin hal itu terjadi di San Antonio,' sehingga saya setuju memakai kerudung selama seminggu untuk melihat reaksi orang-orang,” kata Husain yang berusia pertengahan 50 tahun. Ia menjadi warga Negara Amerika tahun 1975 dan pindah ke San Antonio dengan keluarganya tahun 1989. “Saya ingin tahu apakah ada perubahan setelah ini.”

Apa yang terjadi kemudian tidak hanya menyadarkannya bahwa gerakan diskriminasi semakin merebak, tapi juga memotivasinya untuk mewakili komunitas muslim San Antonio. Saat ini ia adalah pendiri, menjadi presiden dan satu-satunya wanita di Council on American-Islamic Relations (CAIR), kelompok anti diskriminasi yang bermarkas di Washington DC.

Tahun lalu, Sarwat Husain tampil di buku “The Face behind the veil” (sosok di balik kerudung), yang menampilkan 50 Muslimah Amerika yang menonjol prestasinya. Pengarang buku tersebut memuji Husain karena patriotismenya dan penolakannya terhadap terorisme.

Para pengagum Sarwat Husain menggambarkan sosoknya sebagai orang yang kuat dan menolak diskriminasi dimana pun dia berada. Sedangkan orang yang tidak menyukainya menggambarkan sosoknya sebagai orang yang suka blak-blakan dan tidak tahu diri.

Sarwat Husain mendapat banyak email penuh kebencian. Meskipun semua email itu dibacanya tapi ia tak pernah membalasnya, “Apakah ada manfaatnya?”

Di tempat kerjanya, Sarwat Husain tetap memperjuangkan hak untuk memakai hijab. Ia juga mengajarkan toleransi pada kedua anaknya tentang hidup bernegara di Amerika.

Pencarian Identitas

Muslim di Amerika diperkIraqan ada sekitar 20.000 orang, meskipun belum ada data pasti tentang hal itu. Perilaku diskriminasi memang jarang terjadi di San Antonio, tetapi beberapa aset bisnis kaum Muslim pernah dibakar oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab setelah peristiwa 11 September.

Sarwat Husain juga menerima pengaduan mulai dari pekerja yang dipecat, diturunkan jabatan hingga anak-anak yang dipukuli di sekolah. Bukan apa-apa, hanya karena ia beragama Islam.

Setelah peristiwa 11 September, Sarwat Husain menghadiri undangan mantan walikota Ed Garza untuk duduk dalam komunitas lintas agama. Ia juga mendirikan surat kabar Al Ittihaad yang berarti unity atau persatuan dalam bahasa Arab. Surat kabar 12 halaman ini diberikan gratis pada warga Texas dan 25 kota di seluruh Amerika dengan hanya mengganti bea kirim.

“Saya rasa surat kabar seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat kita,” katanya. “Banyak hal yang tidak diungkap oleh surat kabar pada umumnya atau pun dimunculkan di berita TV.”

Ia mengalami sendiri diskriminasi itu. Ketika satu hari ia antri di sebuah toko elektronik di kota San Antonio, ada seorang wanita memandangnya. Wanita ini lalu memegang erat-erat tangan suaminya.

“Jangan khawatir, ada aku,” kata suaminya. “Dia tak akan menyakitimu. Lagipula ada banyak satpam di luar sana.”

Sarwat Husain adalah wanita keturunan Pakistan. Ia menikah dengan Mohammed Fakir Husain, 11 tahun lebih tua darinya dan kini sedang menyelesaikan program S3 di Amerika. Meskipun dijodohkan, pernikahan mereka tetap langgeng hingga saat ini, setelah 36 tahun berlalu.

Mereka kini dikaruniai dua orang anak, laki dan perempuan serta 3 cucu. Saat ini, Sarwat Husain memfokuskan dirinya dengan melakukan pendampingan untuk komunitas Muslim di kota San Antonio. [Associated Press/ria/cha]

Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4275&Itemid=62

Batasan Aurat Wanita Versi Quraisy Syihab

Kamis, 8 Peb 07 05:50 WIB

Assalammu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Alhamdulillah, saya menanyakan tentang Hukum Hijab seorang Wanitah apakah hukum menutup aurat bagi perempuan ini termasuk khilafiah, seperti yang difatwakan oleh seorang ulama kita ini, Prof. DR. Quraisy Syihab.

Dikarenakan tidak adanya dalil yang secara tegas dan ekplisit tentang batasan aurat seorang wanita, apakah Quraish Shihab itu hanya mengadopsi satu pendapat saja Muhammad Said al-'Asymawi yang ganjil, aneh dan Naif.

Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa penarikan batasan aurat wanita pada masa yang lalu itu sesuai dengan konteks zaman tersebut dan tidak menjadi Relafan untuk di zaman sekarang.

Pendapat ulama satu ini semakin aneh, terbukti dari salah satu putri beliau tidak menggunakan hijab.

Yang saya tanyakan bagaimana kami sebagai orang awam ini menyikapai fatwa ulama yang 'nyeleneh' ini. Karena ulama sekelas Prof. Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di masyarakat kita? Apakah ini yang disebut liberal, plural, sekuler?

Mohon penjelasannya, sebelumnya terimakasih

Wassalammu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ahmad Wanto
aw at eramuslim.com


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada hal yang perlu kita pahami, bahwa sesungguhnya Dr. Quraish Shihab itu bukan anti jilbab. Sebenarnya beliau sangat mendukung penggunaan jilbab, bahkan menurut pengakuan beliau, ke luarganya pun tetap dianjurkannya untuk berjilbab.

Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).

Namun dalam kapasitas sebagai ilmuwan di bidang tafsir, beliau hanya ingin mengatakan bahwa sepanjang yang dia ketahui, pemakaian jilbab adalah masalah khilafiah. Tidak semua ulama mewajibkan pemakaian jilbab.

Menanggapi ungkapan beliau itu, kita katakan memang benar bahwa ada khilafiyah di kalangan ulama. Namun oleh Quraisy, khilaf ini diperluas lagi sampai ke luar dari garis batasnya. Padahal para ulama justru tidak sampai ke sana.

Yang diperselisihkan oleh para ulama sebatas apakah cadar itu wajib atau tidak. Maksudnya, apakah wajah seorang wanita bagian dari aurat atau bukan. Juga apakah tapak kaki merupakan aurat atau bukan.

Namun semua ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa kepala, termasuk rambut, telinga, leher, pundak, tengkuk, bahu dan seputarnya adalah aurat wanita yang haram terlihat.

Sayangnya oleh Quraisy diperluas lagi sampai beliau mengatakan bahwa kepala bukan aurat. Jadi wanita tidak memakai kerudung atau jilbab dianggapnya tidak berdosa.

Sedangkan istilah jibab sendiri memang masih menjadi perselisihan di antara ulama. Ungkapan ini memang benar. Sebab ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa jilbab itu pakaian gamis panjang yang lebar, berwarna gelap dan menutupi seluruh tubuh wanita, tanpa kecuali. Wajah dan tangan pun tertutup.

Namun oleh sebagian ulama lain, yang dimaksud dengan jilbab adalah pakaian yang masih terlihat wajah dan kedua tapak tangan.

Di situlah titik perbedaan pengertian tentang jilbab. Seharusnya Dr. Quraish Shihab tidak kelewatan ketika mengatakan bahwa wanita tidak dilarang terbuka kepalanya, karena dianggap bukan aurat. Sebab tidak ada ulama salaf dan khalaf yang mengatakan demikian.

Asal Muasal Pemikiran

Dari manakah Dr. Quraisy Syihab mendapatkan pemikiran seperti ini?

Tentunya bukan dari para hali fiqih salaf semacam Asy-Syafi'i dan lainnya. Sebab para ulama fiqih di zaman salaf tidak ada yang berpendapat demikian. Pendapat seperti itu cukup aneh memang.

Di zaman sekarang ini, terutama setelah Mesir dijajah Perancis bertahun-tahun, banyak muncul para sekuleris dan liberalis. Dan kentara sekali bahwa Quraish banyak merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.Dalam buku-bukunya, pemikiran liberal inilah yang selalu diangkat oleh beliau. Dan pemikirannya lalu di-copy-paste begitu saja.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?

Kalau kita melihat latar belakang pendidikan dan disiplin ilmunya, sebenarnya beliau bukan lulusan dari fakultas syariah. Jenjang S-1 dan S-2 beliau dari fakultas ushuluddin jurusan tafsir hadits. Jenjang S-3 beliau di bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Meski banyak bicara tentang Al-Quran, namun spesialisasi beliau bukan ilmu fiqih. Bahkan buku tulisan beliau pun tidak ada yang khusus tentang fiqih. Buku yang beliau tulis antara lain Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) dan Membumikan Al-Qur'an danTafsir Al-Mishbah.

Padahal kajian tentang batasan aurat wanita itu seharusnya lahir dari profesor di bidang ilmu fiqih. Di dalam istimtabh hukum fiqih, sebenarnya ada terdapat ilmu hadits, ilmu ushul fiqih dan tentunya ilmu fiqih itu sendiri.

Barangkali hal ini salah satu sebab mengapa dalam tataran hukum fiqih, beliau agak gamang. Karena latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu beliau memang bukan dalam kajian fiqih, tetapi tafsir.

Karena itu pandangan para ulama besar fiqih dari 4 mazhab pun luput dalam kajian beliau. Justru pemikiran liberalis malah lebih banyak muncul.

Kalau kita konfrontir dengan para profesor dan doktor ahli ilmu fiqih di negeri kita, misalnya Dr. Khuzaemah T. Yanggo yang sama-sama berasal dari Sulawesi dan lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat seperti ini tidak benar. Menurut Dr. Khuzaemah, batas aurat wanita tetap seperti yang kita pahami selama ini, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua tapak tangan.

Demikian juga kalau kita lihat pendapat doktor syariah lainnya, seperti Dr. Anwar Ibrahim Nasution, atau Dr. Eli Maliki, yang kesemuanya lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat Quraisy ini dianggap telah menyalahi syariat Islam yang sesungguhnya. Bagi para doktor syariah itu, batas aurat wanita telah disepakati oleh seluruh ulama syariah, yaitu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tapak tangan.

Apalagi kalau kita kaitkan dengan Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, yang tentunya jauh lebih senior lebih tinggi ilmunya dari Dr. Quraisy. Beliau telah menyatakan bahwa di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.

Dan kalau kita merujuk lebih jauh lagi, kepada ulama besar di masa lalu, katakanlah misalnya Al-Imam Nawawi, maka kita dapati dalam kitab al-Majmu’ syarah Al-Muhazzab, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

Kita tetap hormat dan santun kepada pribadi Dr. Quraisy, namun khusus pendapatnya tentang tidak wajibnya wanita memakai penutup kepala dan batasan auratnya, kita tidak sepaham. Sebab pendapat beliau itu menyendiri, tidak dilandasi oleh hujjah yang qath'i, terlalu mengada-ada dan boros asumsi.

Semoga suatu saat beliau menarik kembali pendapatnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Source : http://www.eramuslim.com/usm/shl/45c9595e.htm

Wednesday, February 14, 2007

AM. Fatwa Protes Keras Larangan Jilbab Bagi Petugas Medis

Wakil Ketua MPR AM. Fatwa memprotes keras pelarangan jilbab bagi perawat di Rumah Sakit (RS) Kebonjati, Bandung.

"Tidak pantas larangan menggunakan jilbab itu diterapkan di negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai demokrasi beragama, " ujar Fatwa di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (14/2).

Menurutnya, seharusnya pihak RS tidak membuat atuaran yang bertentangan dengan ajaran agama. Seyognyanya semua pihak bijak dalam membuat peraturan.

"Jangan sampai melarang seseorang menggunakan jilbab, sekalipun masih dalam melaksanakan tugas. Karena jilbab itu tidak akan menganggu dan mengurangi prestasi seseorang dalam bekerja, " tegas dia.

Oleh karena itu, tambah Fatwa, pelarangan jilbab tidak bisa diterima.

"Larangan memakai jilbab di RS Kebonjati, Bandung tidak beralasan, " katanya. Ia yakin, paramedis yang memakai jilbab tidak akan membuat RS rugi.

"Atribut-atribut dari RS memang perlu sebagai tanda dan sarana pengenal, namum pengaturan itu tidak perlu bersifat kaku, " saran Fatwa, yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN). (dina)

Source : http://www.eramuslim.com/berita/nasional/am-fatwa-protes-keras-larangan-jilbab-bagi-petugas-medis.htm

Friday, January 26, 2007

Burqini, Baju Renang yang Jadi Kontroversi

Kamis, 18 Jan 07 17:26 WIB



Menciptakan baju renang khusus untuk para Muslimah, bukan tanpa tantangang di Australia. Karena pendesain baju renang itu, Aheda Zanetti, mengaku mendapat ancaman agar tidak mempromosikan baju renang Muslimnya itu.

"Saya mendapat ancaman dibunuh lewat telepon yang bunyinya 'jika kamu berani mengiklankannya lagi di surat kabar, saya pastikan bahwa kamu...., " ungkap Zanetti.

Baju renang hasil disain Zanetti memang menimbulkan kontroversi di Australia, Namun ia menyatakan bahwa baju renangnya itu mendapat dukungan dari ulama terkemuka di Australia, Syaikh Taj Aldin al-Hilali. Dengan bangga, ia menunjukkan sertifikat persetujuan atas produk-produknya yang diberikan Hilali, meski diakuinya, sebagai ulama Hilali tidak bisa bicara dengan semua warga Muslim.

"Sebagai pemimpin keagamaan, dia adalah seorang pemimpin yang baik. Tapi sebagai jurubicara, atas nama warga Muslim Australia, saya pikir dia bukan orang yang tepat untuk bicara. Itu bukan tugasnya, " tukas Zanetti.

Ia mengatakan, tidak ada ulama lain yang akan memberikan persetujuan atas burqini, sebutan baju renang yang didisainnya.

Hilali sendiri pernah memicu kontroversi di Australia ketika ia menyamakan kalangan perempuan yang cara berpakaiannya terbuka dengan apa yang ia sebut "daging yang tidak ditutupi."

Baju renang khusus Muslimah yang didisain Zanetti-muslimah berjilbab keturun Libanon ini-terdiri dari dua bagian dilengkapi dengan penutup kepala. Dengan adanya baju renang yang didisain khusus ini, para Muslimah di Australia bisa berenang di pantai bahkan menjadi anggota tim penyelamat pantai.

"Banyak gadis-gadis dan kaum perempuan yang kehilangan aktivitas berolahraga termasuk berenang. Tidak ada yang pantas dikenakan buat mereka, jika ingin ikut serta dalam kegiatan olahraga, " ujar Zanetti pada AFP, Rabu (17/1).

"Dan kalau mereka berpartisipasi dalam olah raga dengan mengenakan jilbab, atau apapun yang ingin mereka kenakan, tidak ada yang benar-benar pas buat mereka. Bahannya tidak cocok, disainnya juga tidak cocok, " papar perempuan yang mengaku mendapatkan ide mendisain burqini ketika melihat keponakan perempuannya yang berjilbab bermain bola keranjang.

Burqini diambil dari kata burqa dan bikini. Bahannya dibuat dari polyester dilengkapi dengan pelindung air dan ultraviolet. Baju renang burqini, menutup semua bagian tubuh, kecuali tangan, telapak kaki dan wajah.

Perusahaan Zanetti di Punchbowl, Sydney, kini menerima ratusan pesanan birqini dari penjuru Australia, bahkan dari luar negeri yang harganya antara 160 sampai 200 dollar Australia. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45af4b2a.htm

Mesir Larang Perempuan Bercadar Mengajar Agama



Rabu, 17 Jan 07 16:14 WIB

Menteri Wakaf Mesir Mahmud Hamidi Zaqzuf, mengatakan pihaknya menolak muslimah yang mengenakan cadar bekerja sebagai tenaga penyuluhan agama di masjid-masjid.

Menurutnya, langkah pelarangan ini agar tradisi memakai cadar tidak menyebar di masyarakat Mesir. Dalam keterangan yang ia sampaikan kepada harian Al-Mashri Al-Youm, dikatakannya, “Perempuan bercadar tidak berhak memberi pengajaran agama untuk para perempuan. Karena cadar itu adalah adat atau tradisi dan bukan ibadah, dan juga tidak ada hubungannya dengan agama sama sekali.”

Harian Jomhouriya milik pemerintah Mesir juga menegaskan hal ini. Dalam harian itu bahkan disebutkan bahwa keputusan tersebut telah berjalan dengan dimutasikannya sejumlah guru perempuan bercadar yang mengajar agama, ke tugas-tugas administratif saja.

Pekan lalu, menteri wakaf meminta untuk semua instansi agama agar mengeluarkan perempuan bercadar dari keikutsertaan mereka dalam pelatihan imam masjid. Perintah itu harus dilakukan, bila yang bersangkutan tidak mau melepas cadarnya. (na-str/dstr)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45adb63d.htm

Polwan Muslimah itu Diwisuda Tanpa Harus Jabat Tangan dan Foto Bersama

Senin, 22 Jan 07 16:51 WIB


Komisaris Polisi London Metropolitan Sir Ian Blair sempat berang ketika mendengar seorang polwan yang baru lulus meminta kelonggaran untuk tidak bersalama dengannyanya di acara wisuda.

Kepolisian London bahkan sempat melakukan penyelidikan khusus atas kasus tersebut.

Surat kabar terbitan Inggris Sunday Mail edisi Minggu (21/1) dalam laporannya mengutip pernyataan seorang aparat kepolisian senior yang mengungkap ihwal kasus itu.

"Sir Ian diberitahu tentang permintaan polwan itu ketika ia tiba di acara wisuda. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya dan ia sangat marah. Tapi ia menuruti permintaan itu agar tidak merusak acara, " ujar sumber tadi.

Tidak disebutkan siapa nama Polwan yang kini ditugaskan di sebuah pos polisi di London Timur itu. Yang jelas polwan tersebut seorang muslimah yang mengenakan jilbab. Selain minta kelonggaran untuk tidak berjabat tangan dengan Komisaris, sang polwan juga minta izin untuk tidak ikut foto bersama Komisaris, dengan alasan tidak mau fotonya digunakan untuk "tujuan propaganda."

Juru bicara kepolisian London Metropolitan mengatakan, biasanya, institusinya tidak mentoleransi permintaan semacam itu dan anggota kepolisian yang tidak melaksanakan kewajibannya akan dipecat.

Tapi, kata Juru bicara tadi, pihaknya memberi kelonggaran "karena ingin meminimalkan gangguan terhadap kegembiraan orang lain dan demi kelancaran acara salah satu even yang paling penting dalam karir seorang anggota polisi."

Meski demikian, kasus ini tetap menimbulkan kontroversi dan sejumlah pertanyaan, misalnya, bagaimana bisa seorang "Muslim non Asia" menangkap seorang penjahat berjenis kelamin laki-laki, tanpa menyentuhnya.

"Diskusi-diskusi banyak bermunculan setelah kasus ini terjadi. Banyak yang menanyakan, bagaimana bisa polwan itu menangkap orang jika ia menolak menyentuh laki-laki, " kata seorang anggota polisi.

Namun juru bicara London Metropolitan Police menegaskan bahwa ada garis yang jelas antara acara-acara yang bersifat pribadi dengan ketika seorang polisi melakukan tugasnya secara profesional.

"Ada sebuah standar antara kehidupan pribadi dan profesi, " tegas sang jubir.

Yang jelas, muslimah itu sudah menyelesaikan semua tahapan perekrutan dan pelatihan sebagai calon anggota polisi yang berlangsung selama 18 minggu. Pelatihan itu termasuk pelatihan keselamatan yang di mana kontak fisik antara satu dengan yang lainnya, tidak bisa dihindarkan.

Sama seperti anggota polisi lainnya yang baru lulus, polwan muslimah itu harus membuktikan pada atasannya selama dua tahun mendatang, bahwa ia memang pantas menjadi seorang anggota polisi.

Sejak 2001, Scotland Yard memberi keleluasaan bagi polwan yang muslimah untuk mengenakan jilbab. Saat ini, dari 35 ribu aparat kepolisian London Metropolitan, yang Muslim hanya 300 orang, dan 20 di antaranya adalah Muslimah. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45b477aa.htm

Tuesday, January 23, 2007

Kelompok Islam Tunis Akui Serang Pemerintah, Karena Teror Terhadap Muslimah Berjilbab

Selasa, 9 Jan 07 21:52 WIB

Teror dan tekanan dari pemerintah Tunis terhadap perempuan Muslimah berjilbab menyulut kemarahan sejumlah kelompok Islam. Baru-baru ini, sebuah kelompok bersejata yang mengatasnamakan “Pemuda tauhid dan jihad di Tunis”, melakkan serangan terhadap tentara Tunis. Serangan itu, memakan korban 12 orang meninggal dan 15 orang lainnya ditangkap. Sementara, kelompok yang melakukan serangan itu menyatakan pihaknya sah melakukan serangan, terkait operasi yang dinamakan mereka “perlawanan tekanan terhadap para Muslimah berjilbab dan perng terhadap penjajah.”



Menurut harian Elhayat London, dijelaskan bahwa organisasi yang meluncurkan website dukungan terhadap jaringan Al-Qaidah, “Mereka adalah pemuda yang terlibat dengan tentara Tunis dan mereka adalah putera terbaik Tunis dalam hal akhlak, budaya, prilaku dan system hidupnya. Mereka semua berasal dari keluarga terkenal di masyarakat dan mereka bukan orang-orang criminal.”

Di Tunis, baru kali ini ada sebuah kontak senjata yang kemudian diakui secara terus terang oleh kelompok tertentu. Kemunculan mereka diduga sangat terkait dengan pernyataan pemerintah Aljazair untuk menghentikan semua aktifitas masyarakat Tunis di Aljazair lalu dikait-kaitkan dengan “Jamaah Salafiyah li Dakwah wa Qital.”

Kelompok bersenjata “Pemuda Tauhid dan Jihad di Tunis” sendiri menyatakan dalam websitenya bahwa serangan itu memang diarahkan sebagai reaksi atas terror dan tekanan pemerintah serta keamanan Tunis terhadap wanita Muslimah yang berjilbab. “Muslimah di negeri ini, harus menderita karena dilarang berjilbab, ” tulis mereka. Reaksi itu juga disebutkan terkait larangan pemerintah terhadap pemeliharaan jenggot yang bagi para pemuda itu sebagai symbol komitmen keagamaan dan menjaga diri dari penyimpangan. (na-str/albwb)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45a33da1.htm

Meniti Hidayah

13 Jan 07 18:11 WIB

Oleh : Indah Prihanande

Rasa asing menghampiri ketika adik saya mengenakan jilbab untuk pertama kali. Saat itu saya menganggap jilbab adalah bukan pakaian modern. Jilbab hanya dikhususkan untuk guru agama, orang yang bersekolah di madrasah dan sejenisnya yang berbau agama. Tidak cukup sampai di situ, orang yang mengenakan jilbab saya anggap kuno dan tradisional.

Kesan ‘kuno’ itu semakin meyakinkan saya ketika adik saya mengenakan jilbab dan baju yang serba lebar plus di dalamnya dilapisi dengan celana panjang. Kaos kaki menjadi pelengkap yang tidak ketinggalan.

***

Bersamaan dengan itu, adik saya juga mengenakan jilbab mungil kepada putri saya yang masih bayi. Perasaan yang muncul di hati saya ketika itu adalah perasaan bangga. Bangga karena putri saya terlihat cantik, lucu, imut–imut dan menggemaskan. Tidak ada terbersit sedikitpun tentang sebuah makna berdasarkan keimanan. Saya hanya melihat indah secara fisik, itu saja.

Entah kenapa, tanpa saya sangka puteri saya itu begitu ‘taat’ mengenakan jilbabnya. Dia akan segera mengambil jilbabnya ketika saya mengajaknya keluar rumah. Tidak akan pergi ketika jilbab tersebut belum ditemukan.

Suatu waktu di dalam angkot yang pengap dan panas, karena kasihan saya ingin membuka jilbabnya tersebut, tapi dia menolak. Dia tidak menangis atau merengek, sementara itu dahinya penuh dengan titik keringat.

Kemudian, entah bermula dari mana, perlahan tapi pasti perasaan malu mulai mulai mengusik saya. Saya mulai merasa jengah ketika menggendong bayi cantik berjilbab rapi, sementara saya sebagai ibu-nya mengenakan celana jeans dan rambut yang terbuka ke mana–mana. Sungguh kontras.

Duh, saya merasa tertinggal dan ingin segera menuntaskan ketetertinggalan itu. Tapi saya tidak ingin mengenakan jilbab lebar seperti adik saya, saya ingin jilbab yang lebih pendek dan lebih bermodel. Jilbab pertama yang saya kenakan adalah berwarna cerah, bagian depannya saya lilitkan kebelakang leher, sehingga tidak terlalu menjuntai. Terlihat rapi dan lebih chic.

Kemudian, entah apa juga yang menjadi penyebabnya, lama kelamaan saya merasa jengah ketika mengenakan jilbab pendek tersebut. Saya merasa bagian dada saya terlihat ke mana–mana. Ada rasa malu yang hadir saat itu.

Setelah itu, saya kenakan jilbab yang agak lebar yang bisa menutupi dada bahkan nyaris panjangnya sampai kepinggang. Rasa nyaman melingkupi perasaan dan hati. Saya merasa telah membentengi tubuh saya sendiri. Ah, tapi rasanya belum cukup, ada yang kurang, sekarang saya juga ingin mengenakan kaos kaki.

Ya, keinginan itu datang dengan sendirinya. Kadang hilang dan tidak jarang muncul dengan sinyal yang teramat kuat. Jika diperkenankan saya ingin mengatakan mungkin itulah yang dinamakan hidayah. Dengan kebesaran Allah, saya mencoba menjalani setiap tahapan dari bisikan kecenderungan hati tersebut. Saya mencoba menjalankan radar kepekaan untuk meraba rasa malu yang datang entah dari mana. Mungkin jika saya mengabaikan bisikan itu, sampai saat ini saya tidak akan pernah bisa memulainya. Saya masih saja akan berkelit bahwa saya belum mendapatkan hidayah, atau saya akan beralasan saya belum siap, baju di rumah saya belum memadai untuk digunakan, atau bagaimana kalau nanti atasan di kantor keberatan dengan pakaian yang saya kenakan tersebut?

Ketika bisikan kebaikan itu datang, saya mencoba belajar untuk menyingkirkan segala alasan keberatan yang mengikutinya. Saya berusaha menguatkan keyakinan untuk melakukan perubahan saat itu juga.

Maka setelah itu, tidak ada satu halpun yang bisa menghalangi.

Saya ingin menikmati indahnya iman ini dengan berani memulai mengenakan pakaian takwa. Saya tidak ingin menundanya lebih lama lagi, menunggu moment yang tepat untuk memulainya.

Semua keputusan itu ada di dalam hati ini, didasar keimanan yang kadarnya tergantung dari usaha kita sendiri akan menempatkannya dalam tingkatan yang mana saja. Saya tidak ingin berada dalam keraguan dan pertimbangan terus menerus. Hingga akhirnya hidayah itu pergi tanpa saya pernah menyadarinya.

*Terimakasih Annisa & Aisya sayang, ..
Nenda_2001@yahoo.com

Source : http://www.eramuslim.com/atc/oim/45a48736.htm