Al Qur'an

Q.S. An Nur/24 : 31

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya, dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya."

QS. Al Ahzab/33 : 59

"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang."

Tuesday, December 26, 2006

Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah

Dewasa ini kita melihat banyak kaum muslimah yang tidak berjilbab dan apabila ada yang berjilbab bukan dengan tujuan untuk menutup aurat-aurat mereka akan tetapi dengan tujuan mengikuti mode, agar lebih anggun dan alasan lainnya. Sehingga mereka walaupun berjilbab tetapi masih memperlihatkan bentuk tubuh mereka dan mereka masih ber-tasyabbuh kepada orang kafir. Tidak hanya itu mereka menghina wanita muslimah yang mengenakan jilbab yang syarÃÊ, dengan mengatakan itu pakaian orang kolot, pakaian orang radikal, dan mereka mengatakan jilbab (yang syar'i) adalah budaya arab yang sudah ketinggalan zaman, serta banyak lagi ejekan-ejekan yang tidak pantas keluar dari mulut seorang muslim. Hal ini karena kejahilan dan ketidak pedulian mereka untuk mencari ilmu tentang pakaian wanita muslimah yang syar. Untuk itu pada edisi ini kami berusaha berbagi ilmu mengenai Jilbab Wanita Muslimah yang sesuai dengan tuntunan syari't, artikel ini bukan saja khusus untuk kaum hawa, namun para ikhwan, bapak, kakek juga berkewajiban untuk mempelajarinya dan memahami serta mengamalkannya dengan cara mengajak saudari-saudari kita yang berada dibawah tanggung jawabnya dan sekitarnya.

MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKAN

Syarat ini terdapat dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat 31, yang artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita...

Juga Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59, yang artinya: Å©ai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin: Å©endaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya: Å«anganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi (yang bukan mahram/halal nikah), kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.¡¦Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.

Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya : Ÿahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.¡¦Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Semoga Allah memberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.

BUKAN SEBAGAI PERHIASAN

Ini berdasarkan Firman Allah Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat 31, yang artinya: Å¥an janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.¡¦Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya.

Hal ini dikuatkan oleh Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Ahzab ayat 33, yang artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.

Juga berdasarkan sabda Nabi shalallohu 'alahi wa sallam: Å¢da tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah kaum muslimin dan mendurhakai imamnya (penguasa) serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.¡¦(Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).

KAINNYA TIDAK TRANSPARAN

Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : űada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya)telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk. (At-Thabrani Al-Mujamusshaghir : 232).

Pose Anak-anak Muslim Austria

Berpose: Anak-anak Muslim Austria berpose usai ngaji di sebuah masjid di Telfs, Austria. Meski laporan terbaru tentang "Islamophobia" meningkat di Eropa, tapi geliat Islam di Negeri itu meningkat.[ap]

Pose Muslimah Ningxia

Muslimah Ningxia: Para pelajar Muslimah di propinsi Ningxia, China, sedang belajar bahasa Arab. Ningxia dalah salah satu suku dari lima suku terbesar di Republik Rakyat Tiongkok. Suku ini memeluk agama Islam. Empat lainnya berada di Hainan, Gansu, Yunnan.

Source : Hidayatullah.

Jilbab, Memotivasi Ruqaya al-Ghasara Hingga Meraih Medali Emas

Rabu, 13 Des 06 12:01 WIB



Berjilbab tak halangi atlit olah raga lari perempuan Ruqaya Al-Ghasara asal Bahrain untuk memenangkan pertandingan. Ruqaya Al-Ghasara mendapat medali emas (11/12) dalam olah raga lari 200 meter dengan kecepatan 23,19 detik dalam pesta olah raga Asian Games ke-15 di Doha, Qatar. Sebelum itu Ruqaya memenangkan medali perunggu dalam lomba lari 100 meter, karena awal start yang kurang tepat.

Stadion olah raga Ali Khalifah seperti bergetar dengan teriakan gembira para penonton yang menyaksikan pertandingan tersebut setelah Ruqaya memenangkan perlombaan. Apalagi menjelang Ruqaya, perempuan berbobot 65 kilogram ini mencapai garis finish. Ia telah mengerahkan seluruh potensi kekuatannya.

Tapi yang lebih istimewa bukan soal dukungan atau bobot tubuh Ruqaya. Yang membuatnya istimewa adalah karena ternyata motivator pertama yang membuat Ruqaya mampu memberikan hasil terbaik adalah, jilbabnya. Ya, Ruqaya satu-satunya pelari perempuan berjilbab yang mampu menunjukkan prestasi istimewa dalam pertandingan lari di kejuaraan tingkat Asia, mungkin juga dunia.

Ia mengatakan, “Alhamdulillah, saya menang. Saya berhak mendapat medali emas dalam lomba lari 200 meter. Alhamdulillah, saya menjadi yang paling kuat dan paling baik.”

Ia lalu menjelaskan bahwa dirinya sama sekali tidak mendapat masalah dengan jilbabnya saat olah raga lari. Bahkan ia mengatakan, “Saya justru ingin menegaskan bahwa tidak ada masalah berarti memakai jilbab seperti ini, termasuk saat olah raga sebagaimana saya lakukan.”

Ia pun berpesan kepada para Muslimah, “Saya ingin sekali mengatakan pada para Muslimah, bahwa ini adalah kenikmatan sendiri. Memakai pakaian berjilbab adalah sesuatu yang memotifasi saya. Memakai jilbab menegaskan bahwa kaum Muslimah tidak akan mendapat kendala berarti dan justru mereka terdorong untuk lebih banyak terlibat dalam event yang lebih besar.”


Ruqaya mengatakan ini di tengah luapan kegembiraannya atas prestasi yang baru saja dilakukannya. “Saya pesan kepada para Muslimah untuk berolah raga dan ikut dalam pertandingan adu kekuatan. Ini bermanfaat untuk kesehatan kalian dan negara kalian,” katanya lagi.

Ruqaya yang memakai pakaian menutup aurat berwarna putih dan merah menandakan paduan warna asal negaranya, Bahrain. Ia telah meraih sejumlah medali dari berbagai event olah raga. Ia pernah memenangkan medali perak untuk olah raga lari sprint jarak 60 meter, 200 meter, dan 400 meter dalam pertandingan olah raga Asia yang diselenggarakan di Teheran, tahun 2004. Dan kali ini, merupakan medali paling tinggi yang diraihnya selama ini. Ia berharap tahun depan bisa mengikuti olimpiade di Osaka Jepang. “Saya sudah pernah menang di event olah raga Arab, Asia Barat, tapi kemenangan ini adalah prestasi saya yang paling besar, saya ingin meraih medali lebih banyak lagi,” ujarnya.

Menurut pelatihnya, Thagen, Ruqaya adalah murid istimewa yang mempunyai kemampuan yang jarang dimiliki perempuan. Kepada pers Prancis Thagen mengatakan, “Ia telah mulai melakukan olah raga sejak umur 19 tahun, ini berarti ia hanya berlatih serius selama 4 tahun saja. Tapi kemampuan fisiknya di atas rata-rata.” (na-str/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/457f1811.htm

Kelantan Tertibkan Baju di Depan Umum

Rabu, 06 Desember 2006

Pemerintahan bagian Kelantan menertibkan penggunaan baju-baju tak senonoh di depan umum. Media asing dan aktivis perempuan, paling sinis duluan

Hidayatullah.com--Wanita yang tinggal di negara bagian Kelantan, Malaysia, kini, tak boleh lagi secara sembarangan menggunakan “baju tak senonoh” di depan umum. Sebab, pemerintahan setempat yang dikuasai Partai Pan Islam Malaysia (PAS) memberlakukan larangan penggunaan baju seksi bagi perempuan di tempat umum.

Pakaian yang ditertibkan itu di antaranya rok mini, baju tembus pandang, celana ketat, dan baju yang terlalu pendek.

Warga yang melanggar dikenai sanksi hingga MYR 500 (sekitar Rp 1,2 juta). Larangan itu tak hanya berlaku bagi perempuan Mtapi seluruh perempuan. Sebagaimana diketahui, seperempat dari total 26,8 juta warga Malaysia berasal dari etnis Tionghoa dan delapan persen lainnya etnis India.

"Kami minta maaf kenapa perempuan non-Muslim kalau aturan ini terlihat kejam. Tapi, kami harus menghormati budaya dan agama kami di depan publik," ujar anggota parlemen lokal, Takiyuddin Hassan, seperti dikutip harian Malaysia The Star kemarin.

Aturan ini diterapkan setelah muncul banyak keluhan tentang banyaknya perempuan berpakaian tidak sopan di tempat publik. Menurut Takiyuddin, baju yang tidak sopan membuat pemakainya terlihat mencolok dan mengundang nafsu laki-laki yang melihatnya. Kebijakan pemerintah negara bagian Kelantan itu tentu saja langsung memicu protes. Terutama aktivis perempyan.

"Bukan tugas dewan untuk menjadi polisi moral," kecam Honey Tan, ketua organisasi All-Women’s Action Society.

Kecaman serupa muncul dari Partai Aksi Demokrat yang menjadi oposisi. "Aturan bagi perempuan nonmuslim untuk mengenakan pakaian tertentu merupakan pelanggaran hak karena mereka mestinya tak dikenai syariat Islam," ujar Sekjen DAP Lim Guan Eng kemarin.

Negara bagian Kelantan merupakan satu-satunya wilayah Malaysia yang dikuasai PAS. Awalnya, banyak yang mendukung partai Islam tersebut. Sebagaian kalangan menilai banyaknya aturan yang dianggap terlalu ketat, membuat PAS kehilangan suara. PAS kini hanya menguasai 23 di antara 45 kursi parlemen di Kelantan.

Namun sejumlah fakta menunjukkan, banyak suara PAS dicurangi dalam pemilihan umum beberapa waktu lalu. Selain itu, berbagai pandangan miring memdia asing atas penerapan syariat Islam di negeri itu ikut andil seolah-olah PAS menerapkan ajaran ditentang masyarakat. [afp/rtr/jp/cha]

Wanita di negara bagian Kelantan, kini tak bisa seenaknya mengenakan baju tak senonoh. Pemerintahan Partai Pan Islam Malaysia (PAS) memberlakukan larangan penggunaan rok mini, baju tembus pandang, celana ketat di tempat umum. Nampak Muslimah dan warga Hin.



Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3939&Itemid=66

Mayoritas Warga Inggris Dukung Burqa

Kamis, 30 November 2006

Survei British Broadcasting Corp (BBC), terbaru menunjukkan, sepertiga warga Inggris yang mendukung burqa dan menolak rencana pelarangan oleh pemerintah.

Hidayatullah.com--Kontroversi pemakaian Muslimah bagi perempuan Muslim di Eropa terus berlanjut. Namun, tak seperti pemerintah yang berusaha membakukan larangan pemakaian cadar dan burqa di muka umum, masyarakat Inggris justru cenderung bisa menerima.

Berdasarkan survei yang dilakukan British Broadcasting Corp (BBC), hanya sepertiga warga Inggris yang mendukung larangan tersebut. Sebaliknya, separo lebih warga Inggris bisa menoleransi Muslimat menggunakan pakaian penutup sepeti burqa dan jilbab di tempat-tempat umum tertentu.

"Satu di antara tiga warga Inggris mendukung pelarangan total pemakaian jilbab menutup wajah di tempat-tempat umum," tulis ICM, lembaga poling anggota Dewan Poling Inggris, dalam laporan hasil survei yang dirilisnya untuk BBC, kemarin. Menurut laporan ICM tersebut, 56 persen responden menentang pelarangan total pemakaian jilbab di muka umum. Sedangkan, sebelas persen responden mengaku tidak tahu isu ini.

Survei yang dilangsungkan pada 24-26 November itu melibatkan 1.004 responden dewasa. Hasilnya, sebagian besar responden mendukung larangan pemakaian jilbab yang dilengkapi penutup wajah (burka) di sejumlah tempat umum. Menurut laporan ICM, 61 persen responden mendukung larangan pemakaian burka di bandara dan pos pemeriksaan paspor. Sebanyak 53 responden mendukung larangan pemakaian burka di ruang sidang dan sekolah. Namun, larangan pemakaian burka di tempat kerja hanya didukung 41 persen responden.

Namun komunitas Muslim Inggris tak bergitu kaget dengan hasil survei ini. Menurut mereka, ini merupakan cermin kecemasan publik atas kontroversi jilbab yang diberitakan media. Rajnaara Akhtar, anggota Badan Perlindungan Pemakaian Jilbab, menilai temuan ICM tersebut merupakan hal positif. "Artinya, sebagian besar masyarakat Inggris mengizinkan perempuan muslim mengenakan pakaian apa pun yang disukai," ujarnya pada programa Today di Radio BBC, kemarin.

Ditambahkan Akhtar, anggapan bahwa wanita muslim dipaksa mengenakan jilbab sama sekali tidak benar. "Sebagai muslim, kita perlu memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa memakai jilbab tertutup hingga wajah (burkak) bukan paksaan tapi pilihan," ujarnya. Akhtar tidak membantah adanya paksaan pemakaian buka di beberapa kawasan. Namun, ia menyebut tingkat paksaan itu amat sangat kecil.

Pemimpin Eksekutif Forum Muslim Inggris Zareen Roohi Ahmed mengaku tidak terkejut mendengar hasil survei tersebut. "Kita hidup di Inggris yang masyarakatnya demokratis. Bukan hal mengejutkan jika sebagian besar masyarakat Inggris mendukung dan menghargai pilihan memakai jilbab di tempat umum. Pada intinya, yang kita bahas adalah pakaian. Karena itu, kita perlu memandang semua itu dengan sudut pandang yang normal," tuturnya seperti dikutip BBC kemarin.

Zareen juga mengatakan, larangan pemakaian burka di tempat tertentu dengan alasan keamanan sangat bisa diterima. "Jika yang dipertaruhkan adalah keamanan, misalnya di bandara, memang, penutup muka sebaiknya ditanggalkan. Jika terbukti sulit menjalankan tugas dengan penutup wajah, misalnya pengajar di sekolah-sekolah, sepenuhnya terserah kepada mereka mau tetap bekerja di sana atau tidak," tambahnya. [bbc/jp/cha]

Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3916&Itemid=66

Spanyol Mulai Persoalkan Simbol Keagamaan, Termasuk Jilbab

Kamis, 30 Nov 06 14:02 WIB



Umat Islam di Spanyol menentang rencana pemerintah Spanyol yang akan mengangkat isu penggunaan simbol-seimbol keagamaan termasuk jilbab, menjadi sebuah perdebatan. Warga Muslim khawatir, perdebatan itu akan berujung pada larangan mengenakan jilbab seperti yang terjadi di Perancis.

"Warga Muslim menentang pembatasan apapun terhadap kebebasan beragama dan meminta agar simbol-simbol yang merefleksikan identitas keagamaan, dihormati," demikian bunyi pernyataan resmi Federation of Islamic Religious Entities (FEERI) menanggapi rencana pemerintah Spanyol yang dilontarkan awal minggu kemarin.

Ketua FEERI, Abdul Salam Mansur Escudero mengungkapkan, "Pemerintah seharusnya tidak mengikuti langkah sejumlah pemerintah Eropa yang melarang jilbab di tempat-tempat umum."

Ia mengingatkan jika pemerintah melarang jilbab, maka pemerintah sudah melakukan "pembatasan terhadap kebebasan individu."

"Membatasi kebebasan sipil setiap orang yang memiliki hak asasi untuk mengekspresikan keyakinan agamanya dengan memakai apapun yang ingin dipakai adalah perbuatan yang tidak bisa diterima," tegas Abdul Salam Mansur.

Meski demikian, FEERI menyatakan bersedia untuk ikut dalam perdebatan. "Ini untuk membuktikan bahwa warga Muslim sangat ingin berintegrasi dengan masyarakat sekitarnya," tulis FEERI dalam pernyataannya.

Organisasi Muslim itu menyerukan situasi penuh toleransi yang dirasakan warga Muslim di Spanyol tetap dijaga. Apalagi hasil studi yang dilakukan pemerintah dan dirilis 23 November kemarin membuktikan bahwa mayoritas warga Muslim di Spanyol mampu berbaur di masyarakat dan cukup memahami nilai-nilai kebebasan dan toleransi di negeri Matador itu.

Hasil studi itu juga menunjukkan bahwa warga Muslim di Spanyol yang berjumlah 800 ribu jiwa dari 40 juta total penduduk Spanyol, selama ini tidak menemukan hambatan berarti dalam menjalankan ibadahnya.

Spanyol yang terletak di selatan benua Eropa ini mengakui Islam berdasarkan undang-undang kebebasan beragamanya yang disahkan pada Juli 1967.

Rencana pemerintah Spanyol memperdebatkan masalah penggunaan simbol-simbol agama, mendapat dukungan dari kalangan Kristen dan Yahudi. Gereja Katolik Spanyol mendukung larangan berjilbab di tempat-tempat publik. Menurut mereka hijab adalah simbol penindasan terhadap kaum perempuan.

Padahal dalam Islam, jilbab bukanlah simbol agama tapi sebuah kewajiban dalam tata cara berpakaian bagi para Muslimah. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/456e76e6.htm

Kampanye Anti Cadar Meluas ke Italia, Warga Muslim Diminta untuk Tidak Menanggapinya

Kamis, 23 Nov 06 17:12 WIB


Setelah Muslim Inggris, giliran Muslim Italia yang digoyang kampanye larangan memakai cadar. Mereka khawatir, kampanye larangan bercadar yang dihembuskan oleh partai sayap kiri Lega Nord, akan meluas sehingga jilbab pun akan ikut-ikutan dilarang.

Para pemuka Islam di negeri Pizza itu mengecam Lega Nord yang mereka anggap mengurusi hal-hal yang tidak penting, karena Muslimah yang mengenakan cadar di Italia jumlahnya sangat sedikit.

"Beberapa lingkaran dan kelompok politik sedang berusaha menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan Islam, agar dapat menyerang dan menarik perhatian kalangan yang netral di Italia," kata Ali Abu Shwaima, Imam masjid dan kepala Islamic Center di Milan.

"Kami tidak punya maksud membantu mereka melakukan hal itu dengan menanggapi isu-isu yang mereka angkat," sambungnya seperti dikutip Islamonline.

Imam Abu Shwaima mengatakan, warga minoritas Muslim berusaha untuk tidak melayani perdebatan tersebut. "Di Italia, tidak ada hukum yang melarang jilbab atau cadar, makanya tidak perlu menanggapi sesuatu yang tidak ada, karena hanya akan makin memperkuat penentangan," imbuhnya.

Belakangan ini, jilbab dikait-kaitkan dengan teror dan anti-integrasi di kalangan masyarakat Italia, terutama di kota Milan, yang menjadi basis partai Lega Nord dalam mengkampanyekan anti-cadar.

Anggota partai itu, pekan kemarin membagi-bagikan selebaran anti-cadar di kawasan San Babila di Milan. Mereka membagi-bagikan selebaran itu sambil menutup wajah mereka, untuk memperjelas maksud mereka.

Bukan Prioritas

Bagi warga Muslim Italia yang jumlahnya hanya sekitar 1,5 juta orang, isu cadar yang dibesar-besarkan itu bukan persoalan penting, oleh sebab itu perdebatannya mereka anggap tidak perlu diperuncing.

"Karena cadar bukan kewajiban, kami menyarankan para Muslimah untuk tidak mengenakannya agar tidak membuat panas perdebatan yang terjadi saat ini," ujar Imam Abu Shwaima.

Para cendikiawan Muslim, mayoritas juga berpendapat bahwa cadar bukan kewajiban bagi para Muslimah. Tapi penggunaannya diserahkan pada pribadi masing-masing.

Hamza Piccardo, sekretaris organisasi Muslim Eropa-diketuai Tariq Ramadan- yang juga menjabat juru bicara majelis Syuro komunitas Muslim di Italia berpendapat sama. Ia menyarankan para Muslimah untuk tidak mengenakan cadar.

"Kami akan membela jilbab dan tidak membela pilihan yang ekstrim yang tidak diwajibkan bagi semua orang," ujar Hamza.

Ia menambahkan, komunitas Muslim di Italia tidak mau buang-buang waktu dan energi mempersoalkan dan memperdebatkan masalah cadar. Yang jadi prioritas mereka adalah bagaimana menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang umum mereka hadapi di Italia.

Meski demikian, Nadera, Muslimah asal Maroko yang sudah tinggal di Italia selama enam tahun, menolak segala bentuk pembatasan terhadap kebebasan individu.

"Mengenakan cadar atau tidak ada sebuah pilihan. Saya sendiri tidak mengenakannya karena saya tidak meyakininya, tapi saya juga tidak menentangnya," kata Nadira yang merasa sudah cukup nyaman dengan mengenakan jilbab saja. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/456573ce.htm

Melecehkan Jilbab, Menteri Kebudayaan Mesir Dituntut Mundur

Selasa, 21 Nov 06 16:03 WIB



Karena dianggap melecehkan agama, Senin (20/11) mayoritas anggota dewan dan oposisi Mesir meminta Menteri Kebudayaan Mesir Farouq Hosni untuk segera mundur. Hal ini terkait dengan pernyataan Hosni minggu lalu yang dinukil sebagian media tentang masalah jilbab, adzan dan tokoh agama yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.

Ketua Dewan Legislatif Mesir, Fathi Surur – dalam sidang marathon dan panas, Senin (20/11), menyatakan bahwa Menteri Kebudayaan Farouq Hosni dalam waktu dekat akan dihadapkan ke sidang komisi khusus parlemen guna membahas pernyataannya soal jilbab.

Seperti dikutip harian al-Ahram Mesir, Selasa (21/11), dalam penutupan sidang kemarin Surur mengatakan bahwa masalah ini akan dibawa dalam sidang komisi bersama antara komisi agama dan budaya di parlemen. Hal ini dilakukan setelah 130 anggota parlemen meminta Farouq Hosni mundur.

Ketua parlemen Mesir menegaskan, tidak ada yang namanya pendapat pribadi bagi pejabat negara. Barangsiapa yang ingin menyampaikan pendapat pribadinya yang bertentangan dengan tanggung jawab jabatannya, hendaklah segera melepaskan jabatannya.

Farouq sendiri menolak meminta maaf atas penyataannya yang menyebut jilbab wanita Muslim sebagai bentuk kemunduran dan kembali ke belakang. Di menuduh bahwa di belakang perdebatan soal jilbab ini ada alasan politik yang melatarbelakanginya. Farouq mengklaim bahwa Islam tidak pernah mewajibkan jilbab kepada wanita Muslimah. Bahkan dia mengatakan, sekiranya dirinya punya isteri pasti dia akan melarangnya mengenakan jilbab.

Pernyataan Farouq ini dimuat diharian "al-Misri al-Yaum”" edisi, Kamis (16/11). Dia mengatakan, “Wanita dengan rambut mereka yang indah bagaikan mawar tidak boleh ditutupi dari (pandangan) manusia.”

Dia jugamenyatakan bahwa jilbab dan hijab hakiki adalah akhlak dan nurani. Sedangkan hijab dan jilbab (kain) pakaian hanyalah sekadar bagian dari model.

Pernyataan menteri kebudayaan Mesir ini mendapat kecaman keras dari Mufti Arab Saudi Syaikh "Abdul Aziz Alu Syaikh." Dia menyebut pernyataan ini sebagai malapetaka yang menyedihkan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip rambu-rambu al-Qur’an al-Karim. "Sangat menyakitkan bahwa pernyataan itu berasal dari negeri Islam dan dari sebagian orang yang menyatakan dirinya berafiliasi kepada Islam," tegas Alu Syaikh.

Di Mesir sendiri pernyataan menteri kebudayaan ini disambut dengan gelombang aksi demonstrasi. Juru bicara Fraksi Ikhwan di parlemen Mesir, Hamdi Hasan mengeluarkan pernyataan mendadak yang dikirim kepada ketua kabinet dan meminta agar menteri kebudayaan meminta maaf dan dicopot.
Sementara juru bicara Syaikhul Azhar dan Mufti Mesir menyerukan, keduanya akan mengundurkan diri apabila menteri kebudayaan tidak mau minta maaf atas penyataannya yang melecehkan Islam. Keduanya mempertanyakan posisi dan kedudukannya apabila pemerintah tidak mampu menghormati kedudukan keduanya sebagai rujukan Islam tertinggi di Mesir. (was/ikhol-mi)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4562bd6b.htm

Belanda Berencana Larang Jilbab

Senin, 20 November 2006 00:07 WIB

TEMPO Interaktif, Kuala Lumpur: Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar memprotes rencana pemerintah Belanda melarang pemakaian jilbab. Dia menyebut langkah yang diskriminatif itu menabrak hak asasi umat muslim. "Ini bentuk ketidakadilan," katanya, Ahad (19/11). "Kenapa orang-orang tidak memperoleh kebebasan dalam berpakaian sesuai dengan keinginan mereka. Itu hak mereka."Pada Jumat (17/11) lalu, kabinet Belanda menyodorkan rancangan undang-undang yang melarang pemakaian jilbab di muka umum ke parlemen. Target utamanya adalah wanita muslim yang memakai burqa atau niqab--pakaian yang menutupi kepala sampai badan sampai cuma kelihatan matanya. "Di negara ini, kami ingin bisa melihat satu sama lain," kata Menteri Imigrasi Rita Verdonk. AFP SS KURNIAWAN

Source : http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2006/11/20/brk,20061120-87992,id.html

Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap Tidak Sesuai Norma Kesopanan

Selasa, 14 Nov 06 15:02 WIB



Pernyataan Keuskupan York-institusi tertinggi kedua dalam Church of England-tentang jilbab lagi-lagi menyinggung perasaan warga Muslim, khususnya Muslimah di negeri itu. Betapa tidak, Uskup York, John Sentamu mengatakan jilbab tidak sesuai dengan "norma-norma kesopanan."

Pernyataan itu terlontar dalam wawancaranya dengan surat kabar British Daily Mail. Dalam wawancara itu, Sentamu ditanya apakah Muslimah Inggris yang mengenakan jilbab layak berharap bisa diterima oleh publik Inggris?

Sentamu menjawab, "Para ulama Muslim seharusnya mengatakan tiga hal. Pertama, apakah ini sesuai dengan norma-norma kesopanan? Kedua, apakah ini akan membuat anda lebih aman? Dan ketiga, Islam yang bagaimana yang anda tunjukkan dengan mengenakan jilbab?"

Sentamu kemudian menambahkan, "Pada pertanyaan pertama, saya tidak berpikir bahwa jilbab benar-benar sesuai (dengan norma kesopanan)."

Sentamu lebih lanjut mengatakan, ia melepas kalung salibnya saat berkunjung ke masjid atau sinagog dan menutup kepalanya ketika berada di kuil penganut Sikh. "Karena saya akan masuk ke rumah orang lain," dalihnya.

"Dan saya tidak bisa dengan mudah mengatakan, 'terimalah saya apa adanya, anda suka atau tidak.' Saya pikir di masyarakat Inggris anda bisa mengenakan apa saja yang anda inginkan, tapi anda tidak bisa berharap masyarakat Inggris mengubah pandangan di sekitar anda. Tidak ada satupun kelompok minoritas yang bisa berharap hal itu akan terjadi di kehidupan publik atau sipil," sambung Sentamu.

Komentar Sentamu tentang jilbab, bertolak belakang dengan pandangan Kepala Church of England, Uskup Rowan William yang secara terbuka membela hak mengenakan jilbab.

Komentar Sentamu memicu reaksi keras dari para Muslimah di Arab Saudi dan Inggris, baik Muslimah yang mengenakan jilbab dan cadar maupun yang tidak. "Apa-apaan ini, menilai dari apa yang kita kenakan dan tidak kita kenakan," kritik Wafa Ahmad, seorang guru di Jeddah yang ketika berada di luar Arab Saudi mengaku tidak mengenakan jilbab atau cadar.

"Mengapa seluruh dunia tidak bisa melepaskan masalah jilbab dari kepala mereka dan menghentikan obsesi soal apa yang dikenakan di kepala...Mengapa Barat merasa begitu terancam dengan kaum perempuan yang menutup atau tidak menutup wajah dan kepalanya? Saya betul-betul tidak mengerti," ujar Wafa.

Seorang Profesor studi kewanitaan di Universitas King Saud di Riyadh mengatakan,"Norma kesopanan macam apa yang dibicarakan uskup ini? Kesopanan atau berkerudung juga diajarkan dalam Kristen dan Yudaisme. Mengapa semuanya hanya fokus pada Muslim?"

"Saya katakan pada masyarakat Barat, tidakkah mereka yang berceramah pada kita tentang kebebasan individu? tentang wawasan dan menerima perbedaan?" tandas profesor itu.

Seorang pengusaha asal Arab Saudi mengatakan, ketika di Roma berlakulah seperti yang dilakukan orang-orang Roma, dalam arti bukan berarti harus melepas jilbab ketika berada di tengah orang Roma.

"Salah seorang anak perempuan saya mengenakan jilbab, tapi saya yakin tujuannya mengenakan jilbab bukan untuk mencari perhatian. Maka ia mengenakan pakaian yang

dipadukan untuk berbaur, kadang mengenakan bandana atau topi...Orang -orang tahu ia seorang Muslim karena kepalanya selalu tertutup," ujar pengusaha itu.

Di Inggris sendiri, mantan duta besar Inggris untuk Uzbekistan, Craig Murray menyatakan, sangat buruk jika seorang pemimpin Kristen menyulut api Islamofobia. "Ada-ada saja mengatakan bahwa jilbab tidak 'pantas'. Mengapa setiap orang harus sama dalam aturan berpakaian? Tak seorangpun yang melarang Dr Sentamu mengenakan jubah pendeta atau baju seperti ulama. Itu urusan dia," sambung Murray.

Pertanyaan kritis juga dilontarkan oleh seorang wartawan di Inggris Isla Rosser-Owen, apakah Uskup Sentamu berpikiran sama terhadap para biara yang juga menutup kepalanya seperti Muslimah yang berjilbab. "Dalam tatanan yang lebih tradisional, banyak dari para biara yang bukan hanya menutup kepalanya tapi juga hampir seluruh wajahnya. Apakah mereka juga akan melontarkan pernyataan sama?" tanya Rosser-Owen.

Seorang mahasiswi universitas di Inggris yang mengenakan cadar, Ayesha Muhammad menilai komentar Sentamu sebagai pembenaran politik yang "gila."

"Dia mengatakan melepas kalung salibnya saat masuk ke masjid, cukup adil. Tapi dia tidak diharapkan untuk melakukan itu dan tak seorang Muslim yang akan tersinggung jika dia tetap mengenakan kalung salibnya saat berada di masjid," tegas Ayesha.

Ia menambahkan,"Warga Muslim tidak meminta untuk mengubah negara. Mungkin ada kelompok minoritas yang menginginkan hukum syariah, tapi mayoritas hanya ingin bisa hidup sebagai seorang Muslim." (ln/arabnews)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/455977d7.htm

Hakim Izinkan Pengacara Bercadar

Sabtu, 11 November 2006

Hakim Ketua Pengadilan Khusus Imigrasi dan Suaka Inggris Henry Hodge memutuskan pengacara perempuan Muslim berhak mengenakan cadar dalam sidang.

Hidayatullah.com--Keputusan tersebut muncul setelah Shabnam Mughal, seorang pengacara perempuan, urung menjalankan tugasnya mendampingi terdakwa karena menolak permintaan hakim untuk melepas cadarnya.

Menurut Hakim Hodge, meskipun mengenakan cadar, Mughal tetap bisa menjalankan tugasnya dalam sidang pendahuluan sebelumnya. "Kalau seorang pengacara yang mengenakan cadar sudah mempunyai kesepakatan dengan kliennya dan suaranya bisa didengar jelas semua pihak yang berkepentingan, maka dia berhak tetap mengenakan cadar tersebut," tegas suami Menteri Indutri Inggris Margaret Hodge itu.

Kasus ini bermula Senin lalu. Mughal yang menjadi pengacara Jagdev Singh, menolak ketika Hakim George Glossop memintanya melepas cadar dalam sidang yang dipimpinnya. Perempuan kelahiran Inggris tersebut menolak.

Akibatnya, sidang ditunda hingga keeseokan harinya. Namun Mughal kembali menolak ketika hakim meminta melepas cadarnya. "Anda sudah tahu bagaimana sikap saya. Saya tidak akan melepasnya demi alasan agama," tegas Mughal.

Meski Hakim Hodge sudah mengizinkan Mughal mengenakan cadarnya selama bersidang, keputusan tersebut tidak berlaku selamanya. Keputusan yang lebih kuat akan diserahkan kepada Judicial Studies Board (JSB), badan yang bertugas mengeluarkan panduan bagi para hakim Inggris selama bertugas. "Kasus ini sangat sensitif dan perlu banyak pertimbangan. Karena itu pendapat Hakim Hodge belum bisa dijadikan panduan sepenuhnya," kata Hakim Lord Phillips dari JSB.

Javid Hussain dari Coventry Law Partnership, kantor Mughal bekerja, mengaku tidak puas dengan keputusan Hakim Hodge. "Sepertinya untuk waktu mendatang, mereka akan menyerahkan boleh tidaknya mengenakan cadar kepada hakim pada masing-masing kasus," ujarnya.

"Tentu saja kami kecewa dan berharap ada keputusan yang lebih jelas dan mendukung bagi salah satu staf kami," tegasnya.

Masalah penggunaan cadar semakin menjadi kontroversi akibat pernyataan Mantan Menlu Inggris Jack Straw beberapa bulan lalu. Straw dengan jelas mengatakan menolak siapa pun yang datang ke kantornya dengan mengenakan cadar. Menurutnya, cadar membuat hubungan antar komunitas di Inggris semakin sulit. Meski mendapat kecaman dari komunitas muslim di Inggris, tidak ada pernyataan maaf dari Straw.

Kasus ketakukan penutut aurat atau simbol-simbul Islam seperti bukan hal baru. Sebelumnya, kasus serupa juga menimpa gadis SMU, Shabina Begum. Namum tahun lalu, pengadilan banding Inggris memenangkan gugatan Begum terkait pemakaian jilbab.

Pelajar putri SMU Denbigh Luton, Bedfordshire ini sempat dilarang sekolah karena menolak melepaskan jilbabnya.

Pelajar berusia 16 tahun itu pun mengajukan gugatan pengadilan. Dalihnya, prinsipnya untuk menjalankan perintah agama tidak seharusnya membuat dia dihalangi mendapatkan pendidikan formal.

Hakim, yang mengadili gugatan tersebut sependapat dengannya. Menurutnya, pihak sekolah salah kalau melarang Begum mengenakan jilbab saat bersekolah. Meski pihak sekolah bersedia mencabut larangan itu, namun Begum telanjur pindah sekolah, yang mengizinkannya tetap mengenakan jilbab. Belajar dari kasus Begum, hakim menganjurkan tambahan petunjuk untuk sekolah terkait pakaian yang dikaitkan dengan hak-hak siswa sebagai manusia dan umat beragama.

Kemenangan Begum itu menjadi tonggak, karena dicapai lewat perjuangan panjang. Dia mulai mengenakan jilbab saat bersekolah sejak September 2002. Meski demikian, sejak itu, dia dikucilkan karena menolak melepas jilbab. Tak tanggung-tanggung, Begum bahkan dikeluarkan oleh pihak sekolah dengan alasan dengan risiko keamanan. [jp/cha]

Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3831&Itemid=66

Wear a Hijab Day untuk Mengenang Alia Ansari

Rabu, 8 Nov 06 10:35 WIB



Komunitas Muslim di AS akan menggelar aksi mengenakan jilbab atau "Wear a Jihab Day" pada tanggal 13 November mendatang, sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap Alia Ansari, ibu dari enam anak yang tewas dibunuh bulan Oktober kemarin.

Alia Ansari tewas ditembak oleh orang tak dikenal, ketika dalam perjalanan untuk menjemput anak-anaknya pulang dari sekolah pada tanggal 19 Oktober lalu, di kawasan pemukiman Glenmoor, Fremont, California. Ia ditembak di depan anak perempuannya yang masih berusia 3 tahun, tidak begitu jauh dari rumahnya.

Kasus pembunuhan itu menjadi perhatian masyarakat. Anggota keluarga Ansari dan sejumlah pemuka Muslim menduga, satu-satunya motif orang yang membunuh Ansari adalah busana Muslimah dan jilbab yang dikenakannya. Pembunuhan itu tidak lain adalah kejahatan karena kebencian terhadap Muslim dan Islam.

"Siapapun pelakunya, tidak melihat bahwa Alia Ansari adalah seorang ibu dari enam anak," kata Syeikh Hamza Yusuf, seorang pemuka Islam terkemuka di California.

"Pelaku penembakan melihat sebuah simbol yang oleh banyak orang dianggap harus dibenci," sambungnya pada para wartawan yang berkerumum di depan rumah Ansari.

Peristiwa penembakan itu terjadi saat Alia sedang berjalan sambil bercengkerama dengan anaknya antara Central Avenue dan Glenmore Drive di Fremont. Ibu enam anak itu tewas seketika ketika seorang laki-laki tak dikenal melepaskan satu tembakan tepat ke kepala Alia.

Sebagai merespon tragedi yang menimpa Alia, para pemuka Muslim di AS dan organisasi Foundation of Self-Reliance akan menggelar aksi "Wear a Hijab Day."

"Ide Wear a Hijab Day didorong oleh rasa kepedulian masyarakat, khususnya kaum perempuan yang berasal dari etnis dan ras yang berbeda-beda di Fremont, California yang ingin merespon secara simbolik dan kolektif peristiwa tragis yang menimpa Alia Ansari. Mereka datang pada saya dengan pertanyaan-pertanyaan; apa yang bisa dan harus dilakukan," kata Direktur Eksekutif Foundation for Self-Reliance, mengomentari aksi Wear a Hijab Day seperti dikutip Arab News.

Selain menggelar aksi, mereka juga akan menggalang dana untuk membantu enam anak Alia yang usianya antara 2-13 tahun serta suaminya. Informasi penggalangan dana ini bisa diakses di situs Foundation for Self-Reliance, www.efsr.org.

Yayasan itu merekomendasikan warga masyarakat yang akan ikut serta dalam aksi Wear a Hijab Day mengenakan baju lengan panjang dan longgar, celana panjang atau rok panjang yang longgar serta mengenakan jilbab lebar atau selendang yang menutupi kepala, leher dan bahu. (ln/arabnews)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4551500a.htm

DR. Yusuf al-Qaradhawi, MA., Lc.: Tunisia Bukan Perang Melarang Jilbab Tapi Perang Melawan Allah

Senin, 6 Nov 06 08:56 WIB



Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional, Dr. Yusuf Qardhawi, mengecam tindakan represif yang dilakukan pemerintah Tunisia untuk melarang para Muslimah mengenakan jilbab dengan tudingan bahwa jilbab wanita adalah “pakaian sektarian”.

Dalam khutbah Jum’at yang disampaikannya (3/11) di masjid Umar bin Khattab di Dhoha, Qatar, ulama terkenal dunia Islam itu mengatakan, “Sesungguhnya perang yang dilancarkan oleh pemerintah Tunisia bukan perang melawan jilbab tapi perang melawan Allah dan Rasul-Nya…” Qardhawi mengaku sangat heran dan aneh dengan anggapan pemerintah Tunis bahwa memakai jilbab adalah prilaku kriminal yang harus ditindak oleh hukum.

“Mereka (para penguasa) itu tidak mengizinkan murid-murid perempuan dan mahasiswinya memakai jilbab di sekolah dan di kampus. Bahkan para pegawai perempuanpun tidak diizinkan memakai jilbab di tempat kerja. Wanita berjilbab bahkan tidak boleh dirawat di rumah sakit dan bahkan ibu-ibu yang hamil tidak boleh melahirkan anak di rumah sakit negara karena berjilbab, “ kata Qardhawi gusar. Ia meminta kaum Muslimin semua untuk tidak diam terhadap aksi represif dan aneh ini, serta segera memberi dukungan pada kaum perempuan berjilbab yang tengah mendapat tekanan dan teror.

Qardhawi menilai apa yang dilakukan pemerintah Tunisia terhadap pemakai jilbab itu adalah upaya mengeringkan sumber agama Islam dan munculnya simbol Islam di Tunis. Di sisi lain, ia menegaskan bahwa apa yang dilakukan pemerintah Tunis itu bertolak belakang dengan prinsip kebebasan yang harus ada dalam undang-undang internasional. Pakaian termasuk kebebasan individu, kebebasan beragama yang masuk dalam poin prasasti internasional, yang mengandung pembelaan terhadap HAM.

“Allah swt memerintah kaum wanita muslimah untuk menutup aurat dengan jilbab. Tapi pemerintah Tunis mengatakan pada kaum perempuan, “lepaskan jilbab kalian”, dan memancing kemarahan kaum perempuan. Mereka (penguasa Tunis) mengatakan kepada kaum perempuan, “Lucutilah pakaian kalian.”

Dalam khutbah yang juga diputar secara langsung di televisi Qatar, di hadapan ribuan jamaah shalat Jum’at, Qardhawi menegaskan bahwa jilbab bagi wanita Muslimah adalah bukan sekedar masalah kebebasan individu, namun merupakan perintah yang wajib secara syariat. (na-str/iol)
Source : http://www.eramuslim.com/news/int/454e097e.htm

Ketika Naira Berjilbab

Adalah Naira seorang gadis remaja lulus SMU. Naira memiliki wajah yang cantik, tubuhnya langsing,
dengan tinggi hampir 170 cm.
Naira memilik kegemaran yang jarang dimiliki oleh wanita seusianya yakni berolahraga.
Hampir semua bidang olahraga ia kuasai.
Ketika teman-temannya mendaftar diperguruan tinggi dengan memilih jurusan yang populer, banyak
diminati agar mudah mencari kerja, atau memilih bidang yang bergengsi misalnya;
Naira justru memilih untuk kuliah di Universitas Negeri Jakarta [ dulu namanya IKIP] mengambil
jurusan 'langka', - olahraga -.

Selama Naira kuliah ia mengambil jurusan olahraga voli. Selain cantik, Naira cerdas, ia berprestasi.
Sehingga dimasa kuliahnya ia juga mampu mencari uang sendiri. Misanya memberi pelajaran
privat berenang; mengajar ilmu beladiri, senam di kursus-kursus. Kepandaian ber volinya juga
memberi dampak bagi lingkungan tempat tinggalnya. Ia melatih warga dan sering memenangkan
lomba voli dalam rangka 17-an atau antar RT, kelurahan.

Puncaknya, ketika Naira terpilih menjadi tim voli dari universitasnya untuk mengikuti acara olahraga
antar mahasiswa. Naira bisa berkunjung ke daerah-daerah lain di Indonesia.
Naira juga sempat terpilih menjadi anggota tim voli yang mewakili daerah (porda), bahkan nasional.
Secara internasional pun Naira sempat merasakannya; bagaimana dieluk-elukan, di puja -puji.
Buah keahliannya menghasilan penghargaan; berupa piala, medali, piagam dan tentunya juga materi
serta fasilitas lainnya dari universitas.

Di penghujung masa ia hendak meraih gelar S1 nya, Naira memutuskan untuk berjilbab.
Betapa godaan, kesempatan emas untuk berkarir itu justru datang bertubi-tubi padanya ketika ia telah
berjilbab.
Bermula dari tawaran suatu yayasan kedaerahan di tempat ia tinggal agar Naira bisa mengikuti lomba
'ratu-ratu-an'. Naira menolak dengan halus.
Orangtua Naira yang mempunyai kedekatan dengan personil di AL, memungkinkan Naira bisa merintis
karir sedikit mudah untuk menjadi bagian dari korps wanita AL. Kemudian juga ada tawaran
untuk menjadi pramugari. Pada karir-karir inilah yang kemudian Naira sempat bimbang.
Naira sebenarnya sangat ingin, karena selain menyukai olahraga ia juga senang berpergian.
Tapi Naira memutuskan untuk mengatakan tidak, karena untuk profesi ini ia harus menanggalkan
jilbabnya; meskipun hanya untuk selama masa pendidikan dan bertugas.

Selama menganggur setelah menjadi sarjana, ia mendapatkan tawaran dari teman-temannya, lembaga,
klub untuk menjadi bagian dari tim voli mereka. Naira menolak, selain harus melepas jilbab, busana
resmi voli untuk wanita sangat tidak islami, begitu penuturannya.

Kini, Naira berprofesi sebagai pengajar di sebuah taman kanak-kanak, menjadi instruktur olahraga
bagi anak-anak TK.
Naira anak sulung dengan 3 orang adik, berasal dari keluarga sederhana. Umurnya belum 25, ia masih
muda tapi ia tak mudah tergoda ketika menentukan arah hidup selanjutnya sesuai yang ia inginkan.
Naira menerima banyak pertanyaan dari teman-temannya sehubungan dengan sikapnya ini.
Masa sih, seorang atlit bisa dengan mudah berpindah profesi menjadi guru taman kanak-kanak,
meninggalkan hiruk pikuk sorak sorai ketenaran, mengabaikan kesempatan profesi yang memungkinkan
mendapatkan materi, fasilitas yang lebih menjanjikan sekedar untuk mempertahankan keyakinannya?

[Kisah ini nyata, terimakasih untuk 'Naira' yang telah membagi pengalaman hidupnya]
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
l.meilany
061106

Basmah Wahbah, Presenter Muslimah Saudi Putuskan Lepas Jilbab

Kamis, 2 Nov 06 13:50 WIB



Basma Wahbah, adalah presenter muslimah berjilbab terkenal di salah satu stasiun televisi Saudi Arabia. Ia pembawa acara “Qabla an tuhasabuu” (Sebelum Kalian Dihisab), acara yang cukup digemari publik Saudi. Namun kini, nama Basma Wahbah tidak seharum dahulu saat ia rapi mengenakan busana muslimah di televisi. Wahbah, telah memutuskan untuk melepas jilbabnya sejak beberapa hari lalu.

Sejumlah sumber media Arab menyebutkan, Wahbah yang biasa tampil di chanel Iqra, di bulan Ramadhan lalu masih tampil dengan busana muslimahnya dalam acara talk-show. Ia juga menjadi pembawa acara Masyaher Hiwar di channel Dubai. Seluruh acara rekaman Wahbah itu, telah habis masa tayangnya seiring dengan habisnya bulan Ramadhan kemarin. Dan setelah itu, Wahbah diberitakan hanya memakai jilbab saat tampil rekaman tv saja. Sedangkan di waktu lainnya, ia tampil terbuka tanpa jilbab.

Wahbah, adalah seorang wanita Mesir yang menikah dengan pebisnis asal Saudi Arabia. Pernikahannya dengan seorang pengusaha Saudi, berlangsung beberapa bulan sebelum akhirnya ia memutuskan untuk melepas jilbab. Wahbah kemudian liburan di Eropa dengan membuka jilbab dan memakainya kembali saat kembali ke Saudi. Kini, Wahbah sedang berada dalam fase tidak ingin ditemui publik apalagi pers. Namun menurut informasi, bukan karena ia takut dengan penampilannya tanpa jilbab, melainkan sebagai fase yang menurutnya akan membuat publik Saudi surprise melihat penampilannya yang baru saat ia kembali menjadi pembawa acara dalam sebuah acara di channel Aen yang dikelola oleh pengusaha Saudi, Shalih Kamil. Menurut informasi tersebut, penampilan baru Wahbah tanpa jilbab akan menjadi standard peningkatan rating pemirsa sekaligus suksesnya acara tersebut.

Keputusan lepas jilbab presenter terkenal Wahbah, tentu memunculkan keprihatinan teman sejawatnya di Saudi. Terlebih selama ini ia aktif membawakan acara yang bernuansa kental unsur spiritualnya. Muna Amir, teman sejawatnya yang juga presenter muslimah di Saudi mengatakan, “Wahbah telah menarik simpatik kami, tapi ia menyayangkan kami.” Acara “Qabla an tuhasabu” yang dibawakan Wahbah, adalah acara yang menguraikan ragam bahaya kemungkaran, seperti perzinahan, kelainan seksual, dialog dengan para napi di penjara dan semacamnya.

Dalam wawancara yang dilakukannya di harian Siyasah Kuwaitiyah, Wahbah menampik keputusannya melepas jilbab yang telah dikenakannya puluhan tahun sebagai bentuk perubahan prinsipnya. Justeru ia mengatakan, “Saya tetapkan ini, karena saya tidak ingin memperburuk imej jilbab. Jilbab tidak mencerminkan kepribadian dan gaya hidup saya. Saya tetap Basmah Wahbah dengan prinsipnya, moralnya dan kehidupannya yang dulu. Jilbab dengan segala kehormatan dan kemuliaan saya kepada kewajiban memakainya, adalah penampilan luar. Yang penting adalah apa yang ada dalam hati. Saya tidak membela perkara yang mungkin saja saya salah, tapi saya telah menetapkan sikap saya pribadi dan ini bukan pembelaan diri…”

Demikian ungkap Basmah Wahbah. Ungkapan yang kerap didengar dari banyak orang yang tidak mengenakan jilbab atau meninggalkan jilbab. Wahbahpun mengatakannya, “Saya tetap Wahbah yang dulu, yang berubah hanya penampilan luar. Dan penampilan luar tidak berpengaruh dengan substansi di dalam,” ujarnya.

Bukankah penampilan luar adalah cerminan keyakinan hati? Apalagi penampilan jilbab bagi muslimah sangat terkait dengan kewajiban yang sudah jelas dijabarkan Islam. (na-str/akhbrn)

Menolak Lepas Cadar, Seorang Asisten Guru di Inggris Terancam Dipecat

Senin, 16 Okt 06 10:26 WIB



Ketidaksukaan sebagian pejabat pemerintah Inggris terhadap Muslimah yang mengenakan cadar makin jelas. Seorang Muslimah yang bekerja sebagai asistan guru 'dirumahkan' karena menolak membuka cadarnya saat mengajar. Menteri Pembauran Inggris Phil Woolas bahkan menyatakan guru tersebut layak dipecat.

"Dia harus disingkirkan. Dia sendiri yang telah membuat dirinya tidak bisa melakukan tugasnya," kata Woolas pada surat kabar Sunday Miror edisi mingguan.

"Dia tidak bisa mengajar siswa-siswa di kelas dengan mengenakan hijab. Dia telah menolak hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan secara penuh dengan bertahan mengenakan hijab," sambung Woolas.

Guru yang dipersoalkan Woolas itu adalah Aishah Azmi yang mengajar di sekolah menengah pertama Headfield Church of England. Oleh pihak sekolah, Azmi sudah 'dirumahkan' dengan alasan kontak melalui tatap muka merupakan hal yang sangat penting dalam perannya sebagai asistan guru dua bahasa.

Pada radio BBC, Sabtu (14/10) Azmi mengatakan bahwa ia hanya meminta agar diizinkan mengenakan hijab ketika berada di antara kolega-koleganya yang laki-laki dan bersedia melepas cadarnya ketika berada di kelas bersama murid-muridnya. Meskipun, menurut Azmi, cadarnya tidak pernah menimbulkan persoalan serius bagi siswa-siswanya.

Ia mengatakan, para siswa tidak pernah mengeluhkan cadarnya dan selama ini tidak pernah ada kasus anak-anak yang merasa kesulitan memahami apa yang diucapkannya meski ia mengenakan cadar.

"Jika orang-orang berpikir cadar jadi masalah, bagaimana dengan anak-anak? Mereka tidak bisa melihat apa-apa tapi mereka mendapatkan pendidikan yang sangat bagus, oleh sebab itu saya pikir, cadar yang saya kenakan sama sekali tidak berpengaruh pada anak-anak," ujar Azmi. Apalagi kebanyakan siswa-siswi berusia sekitar 11 tahunan di sekolah tempat ia mengajar adalah anak-anak keturunan Pakistan dan India.

Kasus Azmi, makin meramaikan perdebatan soal penggunaan cadar di kalangan Muslimah Inggris, yang sebelumnya dipicu oleh pernyataan mantan Menlu Inggris Jack Straw. Jack Straw menganggap cadar menghambat komunikasi dan ia meminta Muslimah yang bercadar mau membuka cadarnya saat bercakap-cakap dengan orang lain.

Untuk kasus Azmi, Woolas menuding Azmi telah bersikap diskriminatif terhadap kaum laki-laki dengan menolak memperlihatkan wajahnya ketika berada di antara mereka.

"Dengan bertahan mengenakan cadar jika ada laki-laki di sekitarnya, artinya dia sudah mengatakan 'saya akan bekerja dengan perempuan saja, tidak dengan lak-laki. Ini diskriminasi seksual. Tak seorang kepala guru pun yang akan setuju dengan hal itu," dalih Woolas.

Woolas Dikecam



Muslim Council of Britain, organisasi payung warga Muslim di Inggris menilai Woolas seharusnya tidak ikut campur dalam masalah ini.

"Ini adalah sebuah intervensi yang serampangan," kata Inayat Bunglawala, hubungan media Muslim Council of Britain pada BBC News Online.

Kecaman terhadap sikap Woolas dilontarkan oleh Lord Nazir Ahmad, rekan satu partainya di Partai Buruh. "Belum pernah terjadi sebelumnya-agak luar biasa-bahwa seorang menteri menyerukan untuk memecat seorang asistan guru," kata Ahmad.

Menurutnya, Woolas seharusnya konsentrasi pada masalah diskriminasi terhadap komunitas Muslim, bukan malah menyerang warga Muslim.

Sementara itu, kuasa hukum Azmi mendesak Woolas untuk menarik ucapannya, karena bisa mempengaruhi pengadilan internal sekolah terhadap kasus Azmi.

Kirkless Council, sebuah lembaga administratif lokal membenarkan bahwa kasus Azmi bisa dibawa ke pengadilan yang mengurusi persengketaan pegawai dan Azmi tetap 'dirumahkan' sementara sampai lembaga bersangkutan mengambil putusan.

Nick Whittingham dari Kirkless Law Centre menilai pernyataan Woolas sebagai 'nasehat yang buruk' dan menyerukan Woolas menarik pernyataannya itu.

"Azmi sangat baik melakukan tugasnya sebagai asistan guru dalam membantu para siswa yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua," ujar Whittingham.

"Ia bisa melakukannya secara efektif meski ia mengenakan hijab. Dia sudah menunjukkan dalam sejumlah wawancara bahwa dia bisa berkomunikasi secara efektif ketika ia mengenakan cadar," sambungnya. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4532fbda.htm

PM Inggris Dukung Kritik Jack Straw terhadap Muslimah Bercadar

Rabu, 11 Okt 06 09:22 WIB



Perdana Menteri Inggris Tony Blair membela mantan Menteri Luar Negerinya, Jack Straw yang melontarkan kritik terhadap Muslimah yang mengenakan cadar di depan umum. Menurutnya, masalah ini perlu diangkat ke permukaan dan didiskusikan untuk menghilangkan penghalang antara masyarakat dengan kebudayaan serta agama yang berbeda-beda.

"Apa yang Jack Straw katakan sangat pantas. Saya melihat tidak ada yang salah dengan perkataannya dan saya pikir hal itu sangat sehat jika anda melontarkannya dengan penuh perhitungan dan pertimbangan agar publik bisa mendiskusikannya," kata Blair.

Seperti diberitakan sebelumnya, Straw yang kini menjadi ketua majelis rendah meminta Muslimah yang mengenakan cadar, memperlihatkan wajahnya saat datang meminta bantuan ke kantor daerah pemilihannya di Blackburn, sebelah barat laut Inggris.

Permintaan Straw itu dituangkan dalam tulisannya di sebuah kolom di surat kabar. Ia kemudian menyatakan bahwa dirinya lebih senang jika para Muslimah tidak mengenakan hijab sama sekali.

Pernyataan Straw itu memicu kecaman bukan hanya dari warga Muslim dan aktivis hak asasi manusia, tapi juga dari sejumlah menteri kabinet meskipun sebagian menteri lainnya mendukung pernyataan Straw.

Aktivis hak asasi Muslim mengingatkan, pernyataan Straw itu bisa menjadi awal bagi kemungkinan munculnya larangan berhijab di sekolah-sekolah dan institusi negara, seperti yang terjadi di Perancis.

Meski mendukung pernyataan Straw, disisi lain Blair mengatakan bahwa para Muslimah bebas untuk mengenakan apa yang ingin mereka kenakan. Blair terkesan menghindar ketika ditanya apakah ia juga akan meminta para Muslimah melepaskan cadarnya.

"Saya pikir, pada akhirnya kembali pada diri mereka untuk memilih apa yang ingin mereka lakukan," ujar Blair.

"Tetapi menurut saya, mengapa Jack mengangkat masalah ini, karena ada persoalan-persoalan yang sangat dirasakan masyarakat. Bagaimana kita meyakinkan bahwa seseorang tidak sedang berusaha memisahkan diri mereka dari kondisi masyarakat yang ada sekarang," sambungnya.

Blair menambahkan,"Ini sebuah perdebatan yang sulit dan rumit untuk kita masuki seperti yang kita lihat dalam beberapa hari ini. Tapi sebenarnya, saya pikir ia (Straw) melontarkan ini semua dengan penuh perhitungan dan pikiran yang sehat."

Para pemuka Muslim di Inggris menyatakan, pernyataan Straw dan para pendukungnya yang mengatakan cadar menghambat integrasi, tidak punya dasar yang kuat. Menurut mereka, pemerintah seharusnya merespon masalah-masalah seperti pengangguran dan pendidikan yang rendah, yang membuat warga Muslim terkucil dan terkesan warga Muslim sengaja di giring ke dalam satu 'perkampungan' untuk warga minoritas.

Sebuah studi yang didanai pemerintah pada Mei lalu hasilnya menunjukkan bahwa warga minoritas Muslim di Inggris, yang jumlahnya mencapai 1,8 juta jiwa, menghadapai kondisi akut karena banyak hak-hak mereka yang diabaikan.

Hasil studi yang dilakukan oleh para peneliti dari universitas di Birmingham, Derby, Oxford dan Warwick menunjukkan bahwa 14 persen warga Muslim dengan usia di atas 25 tahun, tidak memiliki pekerjaan. Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pengangguran nasional yang hanya 4 persen.

Sebuah komisi yang bertugas mengkaji prospek warga Muslim di Inggris juga menemukan fakta bahwa warga Muslim memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan rawan terserang penyakit-penyakit menahun. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/452c5524.htm

Bela Siswi Muslimah, CAIR Dituding Ingin Terapkan Syariah Islam di AS

Senin, 2 Okt 06 14:54 WIB


Pembelaan terhadap siswi Muslimah yang menolak mengenakan celana pendek saat mata pelajaran senam ditanggapi sebagai upaya untuk mengubah aturan-aturan di AS dengan aturan syariah Islam.

Tudingan itu dilontarkan oleh Direktur Middle East Forum, Daniel Pipes yang kerap mengkritik Council on American-Islamic Relations (CAIR), organisasi Muslim terbesar di AS yang memberikan advokasi bagi warga Muslim.

Pipes pada Cybercast News Service mengatakan, masalah celana pendek sebagai seragam olahraga adalah bagian dari 'kampanye' CAIR untuk mengubah aturan-aturan yang berlaku di AS.

"Ini merupakan kampanye untuk membiasakan sekolah-sekolah umum di AS dengan norma-norma Islam dan merupakan bagian integral dari upaya untuk membiasakan negara ini dengan syariah atau hukum Islam," ujar Pipes.

"Kesuksesan mereka (CAIR) dalam mengubah aturan olah raga di sekolah menengah Lake Braddock, ditambah dengan keberhasilan mereka memberikan 'pelatihan tentang perbedaan' pada staff sekolah, telah membuat CAIR lebih berani dan ingin 'meninjau kembali kebijakan-kebijakan' di sekolah-sekolah menengah dalam upaya mengikat mereka pada hukum Islam," papar Pipes.

Sejauh ini, belum ada respon dari CAIR atas tudingan Pipes itu. Semuanya berawal saat CAIR membantu seorang siswi Muslimah kelas 9 di sekolah menengah Lake Braddock di Burke, Virginia yang diancam tidak akan diluluskan dalam mata pelajaran senam, jika menolak mengenakan celana pendek saat latihan senam berlangsung.

Pernyataan resmi yang dikeluarkan CAIR menyebutkan, "Keluarga siswi itu menghubungi CAIR wilayah Maryland dan Virginia untuk meminta bantuan memecahkan persoalan ini. Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan, siswi tersebut dipindahkan ke kelas senam yang berbeda dan akan diizinkan untuk mengenakan seragam senam yang sesuai dengan aturan agamanya."

Masih menurut pernyataan CAIR, sebelumnya, guru siswi tersebut mengatakan bahwa "undang-undang mengharuskan para siswa mengenakan celana pendek." Namun CAIR berhasil meyakinkan pihak sekolah bahwa siswi Muslimah seharusnya diberikan pengecualian dan dibolehkan mengenakan seragam yang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya.

Menyusul kasus ini, CAIR menyatakan akan memberikan pelatihan bagi staf sekolah Lake Braddock guna memberikan pemahaman tentang Islam. CAIR juga akan berkunjung ke sekolah-sekolah menengah lokal untuk meninjau kebijakan-kebijakan terkait dengan akomodasi yang diberikan sekolah pada siswa-siswi Muslim selama bulan Ramadhan, menyambut Idul Fitri dan sepanjang tahun ajaran secara keseluruhan. (ln/crosswalk/arabworldnews)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4520c59e.htm

Pelajar dan Mahasiswa Niger Protes Larangan Jilbab dan Celana Panjang di Sekolah

Rabu, 11 Okt 06 16:15 WIB

Ribuan orang turun ke jalan-jalan memprotes kebijakan aneh pemerintah Nigeria. Mereka meneriakkan yel-yel protes, “Tanpa jilbab, tidak sekolah. tanpa hijab tidak sekolah.” Jalan-jalan Oshen Selatan hari Selasa (10/10) menjadi ramai dan membuat sejumlah besar sekolah dan universitas di kota Etho tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar, karena mayoritas murid ikut turun ke jalan sejak pagi hingga siang.

Para murid sekolah itu memprotes pemerintah yang melarang pemakaian jilbab bagi muslimah di sekolah. Bukan hanya itu, pemerintah Nigeria juga melarang penggunaan celana panjang dan peci bagi anak laki-laki. Menurut versi pemerintah, Islam membolehkan wanita tidak menggunakan jilbab dan kaum pria tida menggunakan celana panjang. Namun para murid sekolah dan para mahasiswa bertekad akan terus turun ke jalan sampai mereka bisa mengubah kebijakan aneh pemerintah Nigeria tersebut.

Saat ini, pihak pemerintah tengah berunding dengan berbagai lembaga pendidikan untuk mengatasi aksi protes para pelajar dan mahasiswa tersebut. Pemerintah dan pihak pengelola pendidikan jelas khawatir karena prosentase pelajar Muslim di sekolah dan universitas Nigeria, mencapai 90 persen.

Sementara itu, para pelajar menyerukan memboikot sekolah yang melarang penggunaan jilbab dan celana panjang sebagaimana ditetapkan pemerintah. Mereka juga menuntut pemerintah memproses secara hukum, sejumlah guru yang diduga kuat terkait dengan aksi misionaris terhadap sejumlah murid Muslim. (na-str/ikhol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/452c766d.htm

Menteri Inggris: Penggunaan Cadar Timbulkan Kekhawatiran non Muslim

Senin, 9 Okt 06 11:56 WIB



Aksi protes warga Muslim Inggris atas pernyataan mantan Menlu Inggris, Jack Straw soal cadar seperti angin lalu. Kritik terhadap cadar yang banyak digunakan Muslimah tetap dilontarkan, kali ini oleh Menteri yang membidangi hubungan antar etnis, Phil Woolas.

"Kebanyakan warga Muslim kelahiran Inggris yang mengenakannya, melakukannya sebagai penegasan atas identitas dan agama mereka. Hal ini bisa menimbulkan kekhawatiran dan kebencian di kalangan non Muslim dan mengarah pada diskriminasi," ujarWoolas dalam artikelnya yang berjudul 'Why Jack's Got it Right' yang dimuat surat kabar Sunday Mirror.

"Warga Muslim jadi lebih memiliki keinginan kuat untuk menegaskan identitasnya dan ini menjadi semacam lingkaran setan di mana ahli-ahli waris Inggris cuma para rasis seperti British National Party," sambung Woolas.

Sebelumnya, mantan menlu Inggris yang kini memimpin majelis rendah, Jack Straw menyatakan, penggunaan cadar hanya akan membuat warga Muslim lebih berat dalam berintegrasi dan ia lebih menyukai bicara tatap muka dengan konstituennya. Untuk itu ia meminta agar Muslimah Inggris yang bercadar membuka penutup wajahnya ketika sedang bercakap-cakap.

Pernyataan itu memicu protes di daerah pemilihan Straw di kota Blackburn, sebelah Barat Laut Inggris, kota industri dengan jumlah warga Muslim cukup banyak.

Woolas mengungkapkan, adalah hak setiap Muslimah untuk menutup wajahnya. Namun menurut Woolas, mereka harus menyadari bahwa orang lain yang tidak paham budaya ini bisa merasa takut dan terintimidasi.

"Orang bebas untuk melakukan apa yang mereka inginkan, tapi mereka harus menyadari tindakan mereka seringkali menimbulkan dampak pada orang lain," katanya.

Pilihan Pribadi


Mantan ketua yang kini masih menjadi anggota organisasi Protection of Hijab, Abeer Pharaon menilai pernyataan Woolas sama sekali tidak benar. "Pernyataan itu sangat salah," kata Pharaon lewat telepon di London pada Islamonline.

"Memakai niqab adalah pilihan bagi seorang perempuan yang bukan untuk mengancam atau menyerang orang lain. Niqab tidak ada kaitannya dengan orang lain tapi hanya pada diri saya sendiri," papar Pharaon.

"Saya sendiri meyakini ekspresi wajah penting, tapi jantung dari wajah adalah mata," sambungnya mengomentari pernyataan Straw bahwa cadar bisa menghambat komunikasi.

Sejumlah menteri kabinet pada publik menyatakan bahwa pernyataan Straw dan Woolas tidak mewakili sikap seluruh menteri di di kabinet Inggris.

Menteri Kemasyarakatan Ruth Kelly pada surat kabar Independent mengatakan, cara berpakaian adalah 'pilihan pribadi' tiap orang dan dirinya tidak akan memintas kaum perempuan yang ingin meminta nasehat padanya untuk membuka cadar mereka.

Hal serupa diungkapkan Menteri Urusan Irlandia Utara, Peter Haim, saingan Straw dalam pemilihan ketua deputi Partai Buruh. Menurut Haim, ketika seorang perempuan memilih mengenakan cadar, maka ia harus diakui. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4529d56c.htm

Pernyataan Jack Straw tentang Muslimah Bercadar Picu Kontroversi

Jumat, 6 Okt 06 12:07 WIB


Muslim Inggris lagi-lagi dilanda kontroversi. Kali ini akibat pernyataan Jack Straw, mantan menteri luar negeri Inggris yang kini menjadi ketua Majelis Perwakilan Rendah (House of Common).

Straw meminta agar para Muslimah yang mengenakan cadar, membuka cadarnya saat datang ke kantor daerah pemilihannya untuk meminta bantuan. Ia mengatakan, esensi dari sebuah pertemuan adalah-tidak seperti surat atau telepon-bahwa anda bisa melihat-dalam arti harfiah-apa yang dimaksud oleh orang lain, bukan mendengarkan apa yang mereka katakan.

Straw menyampaikan hal itu dalam kolomnya yang dimuat secara berkala di Lancashire Evening Telegraph.

"Saya tentu saja membela hak setiap perempuan untuk mengenakan hijab. Saya bermaksud mengatakan bahwa saya pikir, biarbagaimanapun sebuah percakapan lebih bernilai jika perempuan yang bersangkutan memperlihatkan wajahnya," ujar Straw seraya mengatakan bahwa menutup muka tidak melanggar hukum apapun.

Straw berasal dari daerah pemilihan Balckburn yang memiliki 22 persen etnis minoritas dari seluruh populasi di wilayah itu. Ia mengklaim kaum perempuan di wilayahnya tidak mengalami persoalan yang berarti.

Meski demikian, pernyataan Straw dalam kolomnya itu menuai komentar keras dari para pemuka Islam di Inggris.

"Saya terkejut dan cemas atas komentar-komentarnya,"Kata Nasrullah Anwar, juru bicara Dewan Masjid di Inggris pada Sky News.

Menurutnya, Straw dengan posisinya sekarang seharusnya lebih sensitif dan lebih memahami, dan mungkin memberikan masukan yang lebih baik tentang seperti apa komunikasi yang dia harapkan dan bisa dia diterima.

"Ini mengherankan, orang yang sangat senior dan berpengalaman seperti Jack Straw tidak menyadari bahwa tugas dari seorang wakil terpilih adalah untuk mewakili kepentingan konstituennya, bukan melakukan diskriminasi berdasarkan agama," kata Massoud Shadjareh, ketua Islamic Human Rights Commision.

Halima Hussain dari Muslim Public Affairs Committee bahkan mempertanyakan kapasitas Straw memberikan komentar negatif terhadap simbol keagamaan yang tidak dianutnya.

"Poinnya adalah, kaum perempuan telah memilih mengenakan hijab dan itu adalah keputusan mereka sendiri. Tidak ada perempuan yang tertindas. Saya pikir dia tidak benar sudah mengatakan ini semua," tegas Hussain.

Ketua Dewan Masjid Lancashire Hamid Kureshi menilai Straw sudah mengecilkan arti sebuah hal yang sangat penting. Pada BBC Radio Five kureshi mengatakan, siapa saja boleh melepas hijabnya, tapi kebanyakan Muslimah tidak menginginkannya. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/4525e486.htm

Kementerian Pendidikan Maroko Hapus Nuansa Islam dari Buku-Buku Sekolah

Rabu, 4 Okt 06 11:00 WIB



Kementerian Pendidikan Maroko menghapus sebuah teks ayat suci Al-Quran, hadist dan foto seorang anak perempuan berjilbab dari buku teks kurikulum untuk sekolah tingkat persiapan, dengan alasan untuk mencegah munculnya ekstrimisme.

"Mereka menghapus ayat 31 Surat An-Nur yang isinya berbunyi, "Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya, dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya....." kata Abdul Karim Al-Howeshri, kepala asosiasi pendidikan Islam non pemerintah, Selasa (3/10).

Kementerian pendidikan, sambung Howeshri, juga menghapus sebuah hadist yang diriwayatkan Abu Daud, yang isinya; Nabi Muhammad saw mengutuk laki-laki yang berpakaian menyerupai wanita dan wanita yang berpakaian menyerupai laki-laki.

"Buku teks Kebangkitan Pendidikan Islam sudah ditarik dari sekolah-sekolah dan dari peredaran setelah penghapusan itu," ujar Howeshri.

Kementerian pendidikan Maroko selanjutnya menghapus foto seorang anak perempuan berjilbab yang sedang mencium tangan ibunya dari buku teks Al-Waha, sebuah buku yang juga berkaitan dengan pendidikan Islam.

Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Ilmu Pengetahuan Maroko, Al-Habib Al-Malki mengakui kebijakan penghapusan itu di hadapan anggota parlemen dalam sidang interpelasi. Al-Malki berargumen, penghapusan itu dilakukan untuk memerangi orang-orang garis keras.

Argumen itu dikecam Howeshri. Menurutnya, argumen Al-Malki tidak bisa diterima dan tidak masuk akal. "Menteri ingin menerapkan sebuah ketentuan yang harus diterima meski ketentuan tersebut telah menghilangkan identitas Islam dan bertentangan dengan Konstitusi yang mengatakan bahwa Islam adalah agama resmi negara dan semua hukum harus berkesesuaian dengan syariah," papar Howeshri.

Ia menduga pemerintah Maroko sudah ditekan untuk menghapus beberapa mata pelajaran dari kurikulum yang sudah disetujui oleh sebuah komite khusus kementerian.

"Tekanan-tekanan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan yang dikenal sekular dan liberal kelihatannya sudah terlunasi," imbuh Howeshri yang juga mengetuai komite guru-guru agama Islam Maroko.

Sejumlah organisasi perempuan di Maroko memang sudah lama mengecam foto anak perempuan berjilbab di buku teks pelajaran sekolah dan mereka mendesak agar foto itu dihapus. Mereka beranggapan, jilbab adalah simbol menyedihkan penjajahan laki-laki terhadap perempuan.

Lebih lanjut Howeshri mengatakan, kebijakan pemerintah itu merupakan bagian dari reformasi kurikulum pemerintah Maroko setelah peristiwa serangan 11 September di AS. Ia mengecam sejumlah pejabat pemerintahan Maroko, terutama dari kalangan kiri yang tunduk pada AS.

Tahun 2005 lalu, kementerian pendidikan menginginkan agar pelajaran agama Islam dihapus dari silabus mata pelajaran ilmu pengetahuan di sekolah menengah. Mereka juga meminya agar semua referensi tentang 'jihad' dihilangkan dari pelajaran agama Islam. (ln/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/45233189.htm

Polisi Tunis Perang Lawan Boneka Berjilbab?

Selasa, 19 Sep 06 08:15 WIB



Sebuah operasi langka dari pihak keamanan terjadi di Tunisia. Beriringan dengan dimulainya tahun ajaran baru, sejumlah pasukan pengamanan melabrak berbagai toko tempat penjualan alat-alat sekolah dan toko mainan. Toko yang mereka obrak abrik, khususnya yang memasang gambar boneka. Lho, salah apa boneka?

Ya, boneka. Boneka Fulla tepatnya. Boneka itu saat ini sedang trend di kalangan murid-murid sekolah, khususnya sekolah dasar. Banyak murid yang membeli dan membicarakan boneka yang mereka sukai tersebut. Lalu, apa hubungannya boneka dengan pihak keamanan Tunisia merangsek toko-toko yang menjual boneka Fulla? Jawabannya, mungkin terkesan lucu tapi konyol; karena boneka itu memakai jilbab. Jilbab pada boneka Fulla dianggap melanggar undang-undang Tunis yang memang melarang penggunaan pakaian Muslimah. Maka, boneka Fulla yang memakai jilbab itu, dianggap turut menyerukan penggunaan pakaian sektarian. Di situlah letak ke-“haram”-an boneka tersebut, menurut aparat keamanan Tunis.

Hingga kini, pemerintah Tunis masih memberlakukan larangan bagi seluruh pelajar berjilbab untuk mengikuti pelajaran di sekolah maupun di bangku perguruan tinggi. Bukan hanya itu, baru-baru ini ada kasus dua orang mahasiswa berjanggut juga terancam dilarang ikut pelajaran di Tunis.

Menurut para penjaga toko, “Aparat keamanan menyerang toko mereka untuk memeriksa dan menyita barang-barang dagangan boneka Fula dengan dalih menyebarkan anjuran pakaian sektarian. Karena jilbab pun dilarang di Tunis.” Tapi umumnya, para pedagang berang dengan sikap aparat seperti itu karena memberi kerugian besar pada mereka, meskipun mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Kolomnis Tunis, Abdullah Az-Zawary, mengatakan, “Saya kini khawatir pada sejumlah murid yang membawa tas sekolah bergambar boneka berjilbab Fula, jika kemudian mereka menjadi objek penyitaan aparat keamanan.” Az-Zawary juga menyatakan dirinya khawatir bila kondisi itu akhirnya menggiring seorang anak pada tuduhan terorisme yang dianggap melawan undang-undang 108 terkait larangan memakai jilbab. (na-str/iol)

Source : http://www.eramuslim.com/news/int/450f2caf.htm